Davin berwajah cerah ketika ia tak lagi berada di rumah sakit, dan kembali lagi kerumahnya setelah waktu yang terhabiskan di sana cukup lama. Ia tak lagi berhubungan dengan infus, meskipun ia masih membutuhkan berbagai jenis obat yang dibawanya. Namun itu tak mengurungkan niatnya untuk menggumbar rasa cerianya, karena ia sudah terbebas dari masa kurungannya.
Selama ia di rumah sakit pun, ia tak pernah merasa sendiri. Ada para sahabatnya dan tentu saja ada Ana di sana. Mungkin itu yang membuat semangat untuk sembuh kembali bangkit, karena ia pun masih memiliki janji yang belum tertuntaskan dengan Ana.
Ia kembali ke rumahnya dengan menggunakan taksi. Papahnya sedang sibuk dengan pekerjaan penting dikantor, dan harus cepat terselesaikan. Ia cukup maklum dengan pekerjaan yang sudah lama ditinggalkan oleh Papahnya demi menjaga dirinya. Untu itu ia tak berkomentar lebih, ketika Papahnya mengatakan seperti itu. Lalu para sahabatnya? tentunya sedang melaksanakan pembelajaran di kampus.
"Den setelah ini, kemana lagi ya? Ada persimpangan di sana, dan saya tak tahu sama sekali dengan alamat ini?" tanya sang sopir taksi sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ini merupakan gang perumahan mewah yang sama sekali belum pernah dilaluinya. Tentu saja karena tak ada penumpang yang berhenti di jalur ini.
"Oh, Bapak lurus aja. Nanti kalau Bapak lihat rumah dengan cat warna putih dengan nomor 8, Bapak berhenti disitu." intruksi Davin sambil memainkan ponselnya.
Sang sopir mengangguk, lalu mengendarai mobilnya dengan taksi. Sesuai apa yang diucapkan oleh Davin, sang sopir berhenti tepat diperumahan mewah nomor 8. Davin yang menyadarinya langsung tersenyum, kemudian mengambil tiga lembar warna biru, kemudian menyerahkannya.
"Ini sudah cukup, apa masih kurang?" tanya Davin dengan sopan.
Sang sopir mengangguk. "Ini kebanyakan Den. Hanya 80 ribu kok biayanya." ucap sang sopir kemudian menyerahkan kelebihan uang Davin.
Davin menolak, kemudian tersenyum. "Ini rezeki dari Tuhan, diterima ya Pak. Terimakasih sudah mau mengantar saya hingga selamat."
Sang sopir mengucap rasa syukurnya. Ia menatap Davin kemudian menyalaminyq dengan penuh rasa haru.
"Terimakasih atuh Den. Semoga rezeki Aden makin bertambah dan selalu dilindungi oleh Tuhan disetiap jalan yang Aden tempuh." jawab Sang sopir tulus.
Davin mengangguk. "Doain saya juga ya Pak, semoga pujaan hati saya mau menerima saya untuk menjadi masa depannya. Amiin."
Sang sopir tertawa. "Aden lagi kasmaran ya. Oke deh Den, saya doain semoga mendapat kelancaran untuk mendapatkan dia, dan bisa menjadi keluarga yang harmonis dimasa depan nanti."
Davin mengatupkan kedua tangannya dengan penuh harap. "Semoga saja ya Pak. Saya turun dulu ya, mbok Bapak mau cari penumpang lain."
"Sekali lagi terimakasih banyak."
Davin hanya menyunggingkan bibirnya, lalu turun dari taksi yang baru saja ditumpanginya. Ia tak langsung masuk, perlahan ia mengangkat koper yang berisi pakaian dan diturunkannya dari bagasi.
Davin mengangkat jempolnya keatas pada sang sopir taksi, lalu masuk ke dalam rumahnya. Ia mengernyit heran, ketika mendapati mobil Papahnya yang sudah terparkir di depan rumah. Lalu mengapa Papahnya tak menjemput dirinya disaat Papahnya sudah tak berada lagi dikantor?
Davin berusaha untuk acuh, lalu berjalan memasuki pekarangan rumahnya. Ia tak langsung masuk ke dalam, lantaran ia mendengar Papahnya yang sepertinya tengah serius berbincang dengan lawan bicaranya.
"Tapi kenapa kamu harus pergi dengan cara seperti ini. Rasanya tak begitu adil, ketika kamu sama sekali tak memberitahuku tentang keadaanmu yang sebenarnya dulu. Aku tak merasa dirugikan, namun Davin lah yang sepertinya terlalu tertekan." ucap Papahnya dengan nada yang sedikit serak. Sepertinya Papahnya itu akan mengeluarkan airmatanha.
"Memang harus bagaimana lagi aku hidup Mas? Hidup dirundung masa lalu yang menagih balas budi? Kupikir kamu tahu bagaimana rasanya keadaanku yang hanyalah seorang anak pungut dari mereka. Dan saat itu juga mereka memintaki balas budi dengan menyerahkanmu. Saat itu aku lebih terpuruk dibanding dengan kalian." jelas lawan bicara Papahnya itu.
Samar-samar, namun Davin dapat mendengarnya dengan jelas. Ia tahu siapa pemilik suara itu, seorang wanita yang memang mengaku-ngaki dirinya sebagai Mamah kandungnya. Dan itupun sudah jelas jika Papahnya mengagung-agungkan wanita itu, karena tak pernah menginginkan seorang wanita pengganti sedari dulu.
"Tetapi bukan dengan cara seperti itu. Rasanya begitu sakit, ketika kita sendiri ditinggalkan oleh orang yang kita sayang. Paling tidak kita akan bersama-sama menghadapi, dan pergi mencari tempat baru bersama. Kamu, aku, dan juga anakmu Davin!" seru Papahnya yang sepenuh suaranya dengan begitu serak.
Davin menyandarkan dirinya dipintu utama rumahnya, ia tak lagi memegangi barang bawaannya. Karena sekarang, pikirannya sudah berkecamuk entah kemana. Sesekali ia memejamkan mata, berharap ia tak pernah goyah dari ucapannya yang memang sama sekali tak menginginkan wanita itu hadir disisinya.
"Harus bagaimana lagi aku saat itu! Aku frustasi tak tahu harus bagaimana. Aku dicap sial oleh banyak orang, dan itu cukup membuatku rapuh. Harus bagaimana aku saat itu Mas? Balas budi dengan orang tuaku saja rasanya begitu sulit, terlebih Adik tiriku menginginkan kamu sebagai suaminya. Apa yang harus ku lakukan? Kupikir saat itu jika kau benar-benar menikahinya, hidup kamu akan selalu bahagia. Hanya itu saja."
Kenyataannya, Mamahnya tak terlalu buruk rupanya. Ia menyalahkan semuanya dan melimpahkan kepada Mamahnya, karena trauma di masa lalu. Ia terlalu banyak menyalahkan takdir buruknya, sehingga ia tak tahu fakta yang belum terkuak di dalamnya.
"Maaf, aku masih belum bisa menjadi suami yang baik buat kamu. Aku harap, kita bisa menjalin hubungan lagi dan membesarkan anak kita berdua. Kamu mau kan?" tanya Papahnya dengan pelan.
Davin sudah banjir air mata saat ini. Ia tak tahu harus apa, sehingga ia memilih untuk pergi dari sana sementara dan menenangkan pikirannya seorang diri dulu.
"Pak Ujanh, ada kunci mobil lain nggak yang dipegang Bapak? Saya pinjam satu ya." ucap Davin ketika mendapati sopir pribadinya keluar dari dalam bagasi mobil.
Pak Ujang mengangguk mengiyakan. "Saya pegang dua, yang satu baru saja dibersihin. Tapi yang satu masih kotor dan mau saya bersihin. Ngomong-ngomong, Den Davin mau kemana? Kan baru pulang sekarang? Seharusnya buat istirahat Den, kan baru sembuh. Masa udah mulai kluyuran aja sih."
Davin hanya terkekeh pelan.
"Nggak apa-apa Pak. Davin tolong sama Pak ujang buat bawain koper Davin ke kamar. Davin pergi dulu ya." pamit Davin yang kemudian hilang dari pandangan Pak Ujang tak lama.
Pak ujang hanya menggelengkan kepalanya. "Anak muda jaman sekarang mah begitu. Maunya kluyuran saja nggak peduli kondisinya. Saya hanya berharap, Den Davin nggak kenapa-napa di jalan."
Pak Ujang lalu membawa koper majikannya ke dalam rumah. Baru saja ia hendak masuk, ia dikujutkan dengan Tuan besarnya yang sedang berpelukan dengan wanita yang tak tahu siapa namanya. Apakah ini yang membuat Tuan Mudanya memilih untuk pergi saja.
"Lho Pak, itu kan kopernya Davin. Davinnya mana sekarang?" tanya Ferdi yamg sepertinya peka terhadap kondisi sekitarnya.
Pak ujang hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Anu Pak. Tadi dia pergi bawa mobil, katanya mau keluar sebentar."
Ferdi hanya mendengus kasar. "Kamu lihat kan anak kamu itu. Baru saja ia sembuh, tapi udah kluyuran gitu aja."
"Anak?" tanya Pak Ujang yang sudah mulai bingung.
Ferdi mengangguk, lalu setelahnya ia tertawa. "Saya lupa, tentu saja Pak Ujang nggak kenal sama wanita di samping saya. Dia Merisca, Mamah kandung Davin sekaligus istri saya."
*****
1141 Kata.
Nggak ada definisi. Intinya maaf sebesar-besarnya, karena baru bisa up sekarang.
By: Vaa_morn.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Teen FictionSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...