Forty Five

38.8K 1.8K 18
                                    

Koridor nyatanya sudah ramai dipijak oleh para penghuni kampus. Termasuk Ana yang juga tengah memijakkan kakinya dilantai koridor itu.

Sembari berjalan santai, ia tak bosan-bosannya memutar lagu. Hatinya sedang bahagia saat ini, untuk itu tak ada hal lagi yang mengganjal dalam hatinya. Terlebih, Davin kamarin membawanya ketempat yang ia suka. Rasanya Davin sudah terlampau sempurna dimatanya. Apakah ia telah ada rasa untuk dia? Yang pasti, Ana takkan mungkin berani untuk mengutarakan rasa itu.

Baru saja Ana senyum-senyum sendiri tanpa ada beban, seseorang yang kini berjarak sepuluh meter darinya membuat ia tersenyum masam. Tak ada lagi binar bahagia dalam matanya, perasaan bahagianya langsung buyar kala melihat Gina yang menatapnya dalam.

"Na gue bisa ngomong sama lo?" tanya Gina sambil mengatupkan kedua tangannya seraya memohon.

Ana memandang Gina dengan malas. "Kenapa?"

"Gue pengin tempat yang privasi. Bagaimana dengan Cafe depan kampus?" tanya Gina yang mencoba untuk bersahabat.

Banyak maunya! Untung saja perasaan Ana sangatlah baik hari ini. Jadi Ana tak perlu lagi menyiapkan kata untuk penolakannya. Dan Gina tak perlu lagi untuk meminta Ana secara paksa.

"Oke, lo jalan duluan!"

Benar saja, Gina langsung saja menuruti perintah Ana dan memimpin jalannya. Tak ada raut tak suka dari wajah Gina lagi. Entahlah, Ana pun tak tahu dengan skenario yang tengah terjadi ini.

"Oke, lo mau ngomong apa? Waktu lo nggak banyak, hanya lima belas menit. Selesai atau nggak selesai lo cerita, gue bakal balik ke kampus. Ada jadwal kelas nanti."

Gina mengangguk. Ia pun tak cukup waktu banyak untuk bercerita. Kelas dirinya pun akan segera dilaksanakan. Dan Gina tak ingin menyia-nyiakan waktu yang tersisa itu untuk terbuang secara sia-sia.

"Gue mau minta maaf." ucap Gina to the point.

Ana baru saja menyeruput white coffee yang dipesannya tadi, langsung tersedak. Ia tak salah dengar kan. Pendengarannya masih berfungsi dengan baik bukan?

"Gue nggak salah denger kan?" tanya Ana memastikan.

"Gue serius. Gue nyesel, karena selama ini udah nyakitin lo!"

Ana tertawa. Bahkan saking hebatnya, ia hampir terjungkal dari kursinya.

"Lo udah nyakitin hati gue bertahun-tahun, tapi lo baru nyesel sekarang. Mati aja lo sana!" seru Ana dengan tawa yang tergantikan dengan senyuman sinis.

Gina menunduk. "Gue tahu, gue salah. Untuk itu sebelum terlambat, gue mau minta maaf sama lo."

Lagi-lagi Ana kembali tertawa. Entah apa yang lucu di sana. Intinya Ana menganggapnya lelucon yang patut dipertanyakan.

"Terlambat? Telat kali. Berapa kali lo nyakitn gue? Berkali-kali bukan!"

Gina terdiam. Sebegitu besarkah kesalahan dia, jika iya Gina ingin cepat-cepat mengakhirinya. Sudah tak ada lagi alasan untuk dirinya kembali berbuat kesalahan fatal, toh dia sudah mengingat semua tentang memorinya.

"Karena lo, gue jauh dari keluarga. Karena lo, Aksen sering melukai dirinya sendiri. Dan karena lo, gue jadi jauh dari cinta pertama gue." Ana menjeda ucapannya. "Tapi gue bersyukur, karena lo gue jadi tahu apakah cinta gue tulus apa enggak. Gue jadi jauh dari orang-orang bermuka palsu. Thanks, lo udah buat gue sadar! Sedeket apapun lo dengan orang itu, ada kemungkinan orang itu akan menusukmu dari belakang. Gue sadar, dia nggak cukup baik untuk jadi pendamping hidup gue! Gue juga sadar, jika dia nggak cukup baik buat menjadi sahabat Abang gue."

Ana berdiri. Lalu membawa gendongan tasnya  itu dipunggungnya. Ia tak langsung pergi, karena dirinya sendiri pun harus membayar pesanannya itu.

Gina masih terdiam. Tak ada pergerakan sama sekali yang akan menghalangi Ana untuk pergi. Matanya memerah menahan tangis, sepertinya akan ada tanda-tanda yang akan membuatnya untuk meledakkan tangisnya. Ia tak ingin semuanya berakhir seperti ini. Karena dalam hati yang sejujur-jujurnya, Gina sudah sadar akan semua kesalahannya.

Ana mengambil sisa uang dari kasir, lalu memasukkan ke dalam tas. Masih ada lima menit agar ia sampai ke kampus dan menjangkau kelasnya, tapi sepertinya dia akan terlambat juga.

"Stop Na!" teriak Gina yang kini menatap Ana yang sudah sampai di depan pintu.

"Gue mohon sama lo, kasih gue kesempatan buat minta maaf sama. Gue tahu gue udah banyak salah sama lo, jadi sebelum gue mati! Gue pengin nglakuin banyak hal berbau kebaikan, termasuk meminta sedikit kebaikan dari mereka yang udah pernah gue sakiti."

"Gue buruk, bahkan gue dengan teganya buat orang lain menderita. Jujur gue seneng karenan bisa dapetin semua hal dengan mudah, namun setelah Arkan nolak gue mentah-mentah, gue jadi intropeksi diri. Gue nggak cukup baik untuk Arkan, orang lain, termasuk untuk  siapapun."

"Gue cukup tahu, bahwa semua orang membenci gue. Kalaupun ada yang peduli sama gue, udah dipastikan kalau itu hanyalah palsu dari luarnua. Gue udah ngerasain terpuruk dihadapan orang lain, lalu diejek orang lain, dan itu termasuk selalu sendiri meskipun dikelilingi banyak orang lain."

"Gue sadar sesadar-sadarnya. Jadi gue mohon sama lo, gue minta maaf. Hanya itu, nggak lebih. Gue ingin hidup tenang sekarang, nggak dihantui lagi dengan masa lalu. Untuk itu bantu gue, jika lo masih punya rasa simpati sama gue."

Gina menunduk, lalu ia menangis dalam diam. Dia sudah menerima semuanya. Termasuk ia yang sama sekali tak memiliki teman. Gina sadar betul bahwa semua orang membencinya, untuk itu ia tak pernah ada dalam keramaian. Dikampuspun, ia dikucilkan. Apalagi semenjak insiden Arkan yang meminta putus dengan cobaan bunuh diri. Rasa-rasa lukanya itu masih sedikit sakit untuk diterimanya.

Ana paham dengan situasi yang baru saja Gina utarakan itu. Ia mendekat, kemudian menepuk-nepuk bahu Arkan berusaha untuk paham akan yang Gina derita.

"Gue tahu apa yang lo rasa. Permintaan maaf lo, gue pasti terima! Gue sama sekali nggak punya dendam sama lo. Kalaupun ada, dendam itu udah pergi sejauh-jauhnya dari hidup gue. Gue sepenuhnya udah jauh dari beban, untuk itu lo juga harus selesain masalah  lo secepatnya dan bahagia." ucap Ana yang tulus dari hati.

Gina terperangah. Antara sedikit tak percaya dan sedikit haru, mungkin itu yang dirasa olehnya. Begitu bodohnya Gina, sehingga tak tahu ketulusan Ana yang memang dari hati itu. Ia sudah menghancurkan Ana, termasuk dengan merebut Arkan yang terakhir kali. Rasanya ia begitu hina untuk menerima maaf Ana.

"Gue nggak pantes dapet maaf dari lo. Sungguh Gu.. Gue.."

Ana langsung menempelkan jari telunjuknya tepat dibibir Gina. "Lupain masa lalu. Kita mulai hidup baru dari awal untuk menyambut masa depan. Prinsip gue, jangan meminta orang lain buat menghargai diri lo. Jika lo sendiri nggak bisa menghargai orang lain."

Gina terharu. Ia memeluk Ana saking senangnya. Ia janji, ia akan memulai hidup barunya dengan sebaik-baiknya.

*****

1045 Kata.

Hampir lima hari aku nggak up ya. Oke, langsung gulir kebawah buat ngelanjutin cerita.
By: Vaa_morn.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang