Lima tahun kemudian..
Seseorang merebahkan tubuhnya begitu saja diatas kasur. Ia begitu lelah untuk sekedar bangun, kemudian membasuh muka. Matanya pun langsung terpejam erat menandakan ia akan menutup hari lelahnya itu sekarang ini.
Jas putih kebanggaannya pun masih tersemat dalam tubuhnya, ia urung untuk melepasnya. Terlebih lagi, ia meletakkan peralatan dokternya disembarang tempat. Tanpa ingin meletaknya ketempat yang semestinya.
Dia Anasthasya Azaria Gideon, seorang Dokter yang ditugaskan untuk menangani banyak manusia di desa terpencil. Bukan dipulau jawa lagi ia menapakkan kaki, karena sekarang ia sedang berada diujung paling timur Indonesia. Dan itu jauh dari jangkauan keluarga.
Selain akses jalan yang kurang memadai, mau tak mau ia harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya agar sampai ketempat tujuan. Bukan ia merutuki profesinya, hanya saja ia terlalu dituntut untuk menggerakkan kaki terlalu lama hingga akhirnya ia mengalami pegal-pegal. Terlebih ketika ia sampai ditempat tujuan, ia sama sekali tak diberi waktu untuk melepas penat. Tentu saja, staminanya makin lama, makin terkuras. Padahal baru dua tahun ini dia di sini.
Tok.. Tok..
"Dokk.. Dokter.. Dokter.." teriak seseorang dari balik pintu rumah yang sudah disewanya hingga selama ini. Mungkin terdengar ada raut khawatir dari suaranya yang bergetar, namun itu tak membuat Ana langsung terbangun dari tidurnya.
"Dokter.. Dokter.." kali ini banyak teriakan keras dari luar rumahnya.
Ana yang baru saja tertidur pulas, langsung saja menggelinjang hebat. Matanya sudah hampir memerah, saking lelahnya ia bertugas. Ia sedikit putus asa, namun mau tak mau ia harus keluar mencari tahu masalahnya. Pada saat itu juga Ana memelototkan matanya.
"Dokter, anak saya susah bernapas. Kenapa ya Dok?"
"Dokter, suami saya demam tinggi. Tolong Dok?"
"Dokter, istri saya mau lahiran. Tolongin saya Dok, saya nggak tahu harus bagaimana."
Sambil berpegangan pintu, Ana berusaha untuk menetralkan mimik wajahnya. Sedikit melirik, ia langsung terlonjak kaget kala ia melihat jam yang bertengger didinding tembok. Masih jam 12 malam, berarti ia baru saja tidur setengah jam yang lalu. Tak adakan waktu untuk beristirahat sejenak?
"Tunggu dulu ya Bapak-bapak, Ibu-ibu. Saya harus mengambil peralatan dokter dulu. Selebihnya, saya harus kembali ke klinik, karena perlengkapan lebih lengkap ada di sana."
Semua orang yang memang beraut muka sedikit khawatir, langsung mengangguk saja. Namun baru saja ia melangkah, rasa pening tiba-tiba menyerangnya. Ia langsung menyandarkan diri kedinding tembok, lalu memejamkan mata. Kenapa ia tiba-tiba pusing seperti ini.
"Dokter nggak apa-apa?" tanya warga yang juga berada di sana. Sepertinya ia bisa melihat gerak-gerik Ana yang tengah memegangi kepalanya.
Ana membuka matanya, lalu mengangguk senyum. "Saya nggak apa-apa kok. Mohon ditunggu dulu ya!"
Dan ketika Ana melangkahkan kakinya kembali, entah mengapa kesadarannya langsung hilang. Alhasil ia langsung pingsan tepat didasar lantai.
______
Ana membuka matanya, namun langsung dipejamkan kembali ketika mentari telah memasuki ruangannya lewat celah-celah jendela. Ia memegangi keningnya yang terasa pusing, dan mengurungkan diri untuk terbangun dari tidurnya.
"Kamu udah sadar Na. Ada yang sakit nggak dari diri kamu."
Ana menoleh sekilas. Ada partnernya dan juga perawat di sana. Tapi sejak kapan? Ana sama sekali tak memanggil mereka bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Teen FictionSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...