Setelah Ana beradu mulut dalam waktu yang cukup panjang dengan Davin, akhirnya Davin menurut juga untuk ikut dengannya. Dan itu dengan satu syarat, yaitu jangan membawanya kerumah sakit kembali.
Ana yang awalnya bimbang, akhirnya mengangguk. Ana membuka pintu mobil berharap agar Davin segera masuk secepatnya. Setelah itu, Ana mulai mengemudikan mobil dan membelah jalanan yang sudah terlihat sepi pengendara.
"Jadi kenapa lo bisa kabur dari rumah sakit?" tanya Ana yang membuka suara.
Davin hanya menatap Ana sekilas, kemudian menggeleng pelan. Ia tak berniat sama sekali untuk menjawab. Alhasil, Ana memilih untuk diam saja dan fokus dengan menyetirnya.
Mobil Ana berbelok, kemudian menyetirnya dengan begitu fokus. Davin yang awalnya tak peduli dengan jalan yang sedang dilalui, langsung mengernyit dahinya pelan. Ia tahu, ini jalan menuju rumah sakit, tempat dirawatnya sebelumnya. Davin langsung menatap Ana tajam, tanpa disadari oleh Ana sama sekali.
"Berhenti! Gue sama sekali nggak minta lo buat anterin ke rumah sakit. Apa lo tadi budeg ya?"
Ana mendongak kearah Davin, dan yang Ana lakukan setelahnya hanyalah diam tak berkutik, kemudian menolehkan kepalanya kedepan kembali. Sungguh Davin yang dilihatnya sekarang adalah Davin yang kasar, tak seperti dulu lagi yang bicaranya selalu terlihat lembut di kepalanya. Ia lebih mengingat bahwa dulu Davin selalu menggunakan aku-kamu, bukan seperti hari ini yang sepertinya ada gejolak emosi yang terluap-luap.
"Gue bilang berhenti! Denger nggak sih, apa harus, gue ngomong tepat dikuping lo itu!"
Cukup sudah. Ana yang sedari awal berniat baik, langsung saja membanting setirnya ketepi jalan. Ia menatap Davin tanpa ekspresi sama sekali, kemudian membalas tatapan Davin tak kalah tajam.
"Bisa nggak lo ngehargai orang, gue udah berbaik hati buat numpangin lo dari awal. Lo ngomong apa tadi? Budeg? gue masih bisa denger kok. Jadi nggak usah ngegas segala. Kenapa sih lo? Sikap lo kok nggak kayak biasa? Apa karena kecelakaan, terus lo amnesia. Woww, menakjubkan. Kayak yang di film-film ya!"
Davin dengan angkuhnya, tak mengindahkan ucapannya. "Apa hubungan lo sama wanita itu? Gue mau denger dari mulut lo!"
"Wanita yang mana? Maksud lo apa sih? Gue bingung sama jalan pikiran lo!" jawab Ana yang memang tak paham.
"Nggak usah drama deh. Atau jangan-jangan wanita itu mau ngerebut harta Papah gue, dan lo sebagai perantaranya. Nggak mempan sekarang, gue udah tahu semuanya!"
Ana menggelengkan kepalanya. Antara bingung sekaligus heran, dan itu sudah teraduk menjadi satu. Ana menatap Davin sengit.
"Otak lo butuh dibenerin, kayaknya nggak berfungsi lagi." jawab Ana kemudian.
Davin meludah disembarang tempat. Karena sedari awal emosinya masih meluap, ia tidak bisa membuangnya begitu saja.
"Gue mau tanya sekali lagi, apa hubungan lo sama wanita itu? Wanita itu jalang bukan? Tolong jawab sebenar-benarnya." tanya Davin yang memang tersirat dari matanya, bahwa ia tersiksa.
"Wanita yang mana? Nggak jelas banget sih lo!" seru Ana yang sudah mulai kesal.
Davin menatap Ana sinis. "Atau jangan-jangan lo salah satu pekerja pada hiburan malam di kota ini seperti wanita itu. Dapat upah berapa di sana?"
Ana langsung berubah menjadi dingin. Hilang sudah rasa sopannya dalam menghargai orang lain. Ia menyalakan mesin mobil, kemudian menoleh kearah Davin tanpa ada wajah bersahabat.
"Keluar!" seru Ana datar.
"Tanpa lo suruh, gue juga bakal keluar. Thanks tumpangannya." jawab Davin yang kemudian membuka pintu mobil, dan menutupnya dengan keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Fiksi RemajaSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...