Twenty Four

43.3K 2K 28
                                    

Merisca menatap tajam Aksen yang terus meringis pelan, karena luka yang harus diobati. Apa saja yang dilakukan Anak itu, padahal ketika bersamanya dulu, ia tak pernah lagi melukai dirinya sendiri. Lalu apa ini?

Merisca memejit pelipisnya yang nampak pusing. Mungkin ia butuh hiburan sekarang ini. Dengan langkah pelan ia keluar dari kamar Aksen, meninggalkan Aksen yang sedah diobati oleh Ana.

"Kenapa sih, Abang harus menyakiti diri sendiri. Abang udah janji dulu, kalau Abang nggak akan ngelakuin hal yang sama seperti dulu lagi." ucap Ana yang kemudian menekan-nekan luka Aksen.

Aksen mengerang kesakitan. Padahal, sewaktu ia melakukan, tak ada rasa sakit sama sekali. Lalu mengapa sekarang rasanya begitu sakit?

"Abang nggak bisa janji untuk itu. Terlalu banyak beban yang Abang pikul, sehingga untuk berpikir jernih pun rasanya mustahil. Hanya ini yang Abang pikirkan pada saat-saat seperti itu, tak ada hal lain yang bisa Abang pikirkan sebagai pelampiasan." jelas Aksen panjang lebar.

"Setidaknya Abang berpikir kebelakang. Ada Ana yang akan selalu ada untuk Abang. Ingat itu? Jangan berpikir, bahwa Abang berada di sini sendiri saja." ucap Ana lagi.

Aksen terdiam. Ya, ia sungguh bersalah saat ini. Dalam pikirnya, kata maaf saja tak cukup untuk mebyembuhkan luka. Lalu apa yang harus ia lakukan, disaat tekanan batin kembali meningkat secara drastis.

"Maaf. Abang janji kok akan kontrol diri, meskipun itu sulit untukku lakukan."

"Oke, setelah ini kita akan lalui semuanya bersama. Abang siap?"

Ana mengangkat jari kelingkingnya tepat di depan Aksen. Aksen yang paham pun  kemudian mengangguk, dan menautkan kelingkingnya dengan Ana.

"Abang tahu, satu hal yang Ana takutin di dunia itu adalah kehilangan orang yang kita sayangi. Sejelek atau seburuk apapun perilaku orang itu kepada kita, sehina-hinanya kita dimata mereka, dan sebenci-bencinya mereka dimata kita, tanpa mereka kita takkan ada. Jadi Abang harus tahu, ada kalanya kita menerima meskipun hati sama-sama menolak."

Ana menidurkan dirinya diranjang Aksen. Aksen pun melakukan hal sama, dan kali ini mereka menghadap langit-langit kamar sambil berimajinasi, jauh dilubuk sana.

"Ada kalanya sampah yang terbuang, akan dipungut oleh seseorang, menjadi hal yang baru. Meskipun itu barang bekas dan tak terpakai lagi oleh sang pemilik, ada kalanya ia masih bisa dimanfaatkan oleh orang lain."

Kata-kata yang sederhana, namun Aksen sama sekali tak dapat mencerna semuanya. Ia diam, dan berusaha menjadi pendengar yang baik.

"Abang tahu jika cahaya adalah kompenen penting dalam hidup kita. Seperti kita yang membutuhkan oksigen untuk bernapas, maka kita juga membutuhkan dia untuk menerangi jalan yang benar."

Aksen menopang kepalanya dengan kedua tangannya, yang kemudian menatap Ana dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia bisa merasakan hati Ana yang terlihat lebih rapuh darinya, namun sudah bisa berpikir dewasa lebih dari dirinya.

"Kamu tahu, kenapa Abang memutuskan untuk kembali di saat Abang belum pulih sepenuhnya?"

Ana menggeleng. Tentu saja, Ana tak tahu alasan di balik kembalinya Aksen.

"Sama seperti kamu yang kembali karena masa lalu, Abang pun sama. Abang pikir dengan kita berdamai kembali bersama masa lalu, hidup Abang akan selamanya bahagia. Nyatanya, baru segini saja Abang udah nyerah. Apa lagi jika Abang harus dipertemukan dengan mereka semua yang pernah ada di hidup Abang? Rasa-rasanya Abang sama sekali tak dapat menopang hidup lebih lama."

Grepp.. Ana langsung memeluk Aksen dari samping. Ana tahu betul, ada sesirat putus asa yang berusaha Aksen utarakan. Bukan ini yang Ana harapkan dari Kakaknya.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang