Eighteen

43.9K 2.1K 86
                                    

Ana sudah berada diperpustakaan pada pagi-pagi sekali. Ia tak berniat untuk masuk kelas lebih awal, karena jadwal mata kuliahnya pun masih lama untuk dilaksanakan.

Di sini, Ana tak mengambil satu buku saja. Karena ada hampir tiga buku yang berada di depannya itu, yang masih menanti untuk dibaca. Namun tak lama, Ana sedikit menguap, sejak kapan rasa bosan menerpanya? Ana sedikit melirik kearah jam tangannya, sudah hampir dua jam ia berada disini. Mungkin karena waktu yang telah berjalan lama, telah membuatnya merasa sangat bosan seperti saat ini.

Perlahan Ana mengembalikan semua bukunya dan hendak pergi keluar saja. Tapi baru saja ia hendak keluar dari perpus ini, seseorang menghalagi jalannya. Tentu saja membuat Ana yang tadinya merasa kesal, langsung terdiam saat itu juga.

"Lama tidak jumpa. Apa kabar?" tanya orang itu basa-basi.

Apa lagi ini? Belum saja satu orang tertangani, sudah datang lagi orang yang berbeda. Ingin rasanya ia meluapkan seluruh emosinya begitu saja ketika memandang orang itu dihadapannya,  tanpa ada rasa malu sedikitpun.

Ana membuang wajahnya ke samping, hanya sekedar untuk menarik napas panjang. Setelah semua dirasa selesai, ia mulai menatap kedepan dengan senyuman sinisnya.

"Hai Gina, apa kabar? Udah lama nggak jumpa ya." ucap Ana yang sepenuhnya fake.

Gina sedikit tersenyum tipis. "Gue mau ngomong sama lo, empat mata!"

Ana menyipitkan matanya, lalu sedikit menggerak-gerakan mulutnya untuk  pemanasan. Tak mungkin ia harus merasakan kram mulut disaat detik-detik yang segenting ini.  Tetapi, baru saja mereka bertemu setelah beberapa bulan atau tahun lamanya, dan apa yang Gina minta kepadanya sekarang?

"Ini kalau bukan empat mata, berapa mata? To the point aja langsung." jawab Ana santai.

"Gue pengin yang privasi. Bagaimana jika di taman belakang?" tanya Gina lagi.

"Omong kosong!" seru Ana yang kemudian berjalan meninggalkan Gina seorang diri.

Gina tentu saja tak tinggal diam. Ia langsung berlari mencekal tangan Ana, yang kemudian dihempaskan begitu saja oleh Ana. Ana menatap Gina sengit. Berani-beraninya dia!

"Awas aja tangan lo ngotorin diri gue! Jijik tahu gue nggak sama diri lo." ucap Ana yang kemudian meniup-niup tangannya yang baru saja dipegang oleh Gina.

"Gue mau ngomong sama lo, dan lo harus paham itu!" seru Gina kemudian.

"Oke, fine." seru Ana tak kalah tinggi.

Ana berjalan mendahului Gina yang mengekorinya dari belakang. Tak butuh waktu lama untuk sampai ditaman belakang yang memang selalu terlihat sepi itu.

Mula-mula, mereka berjalan disepanjang koridor, melewati ruang musik, lalu kemudian sampai juga ditaman paling belakang. Tak ada batang hidung manusia, meskipun kehidupan masih terdengar jelas di sana. Ana berjalan menuju pohon rimbun, kemudian menyandarkan tubuhnya.

"Apa yang mau lo omongin sama gue?" tanya Ana sambil memejamkan matanya, meresapi setiap hembusan angin yang menerpanya.

"Jauhi Arkan." jawab Gina langsung.

Ana yang sedari tadi memejamkan mata, langsung membukanya lebar-lebar. Jauhi Arkan? Perasaan Ana tak pernah mendekati orang itu.

"Jauhi Arkan? Omong kosong banget. Nggak ada gunanya lo ngajak kesini tahu nggak!" ucap Ana dengan sedikit sebal.

"Apa susahnya sih buat ngejauhi Arkan?"

Ana tertawa hebat. Sungguh lelucon yang sangat menghibur dirinya. Tentu saja Gina bertambah keheranan, pasalnya tak ada reaksi serius yang ditimbulkan oleh perempuan dihadapannya.

"By the way, lo masih amnesia? Atau lo ketabrak truk lagi, terus akhirnya lo makin lupa diri gitu? Gilaaa parahh.. Nyawa lo ada berapa sih, kok nggak mati-mati!"

Bukan ini jawaban yang Gina harapkan. Tspi rasa emosinya sudah naik keubun-ubun. Dengan tangan yang sudah ancang-ancang, ia mulai menampar pipi Ana.

PlakkKKKK..

Tamparan tajam mendarat sempurna di pipi Ana. Tentu saja pipi Ana langsung kemerah-merahan, dan ada bercak tangan di sana. Ana menatap Gina dengan penuh emosi, lalu sedikit tertawa renyah.

"Gini aja kemampuan lo? Woww, lemah banget ya lo." semprot Ana.

"Lo bisa, nggak ngrendahin gue lagi!?" bentak Gina yang sudah tak tahan.

"Nyatanya dua pasang kekasih ini sama-sama punya emosi tinggi bung. Gitu aja, reaksinya langsung berlebihan. Dasar kalian lupa diri!"

Gina langsung mengangkat jari telunjuknya mengarah pada Ana. Tentu saja, dengan air mata yang sudah membanjiri wajahnya.

"Jaga omongan lo ya!" seru Gina.

"Heyy, Gina Florenza yang terhormat. Gini, gue kasih tahu. Lo hidup di dunia ini itu sama sekali tak berfaedah. Karena apa? Karena diri lo itu busuk, cocok untuk tidak dibiarkan hidup dalam dunia." ucap Ana.

Tanpa aba-aba lagi, Ana langsung pergi meninggalkan Gina yang terlihat terpaku setelahnya. Ana tak tahu lagi harus bagaimana. Intinya dimana ada Arkan, pasti ada Gina tak jauh darinya. Untuk itu, Ana harus menyiapkan hatinya lebih matang lagi, lebih dari sebelum-sebelumnya.

______

Aksen menghembuskan napas panjang dan menghirupkannya berkali-kali. Dan itu ia lakukan secara berulang-ulang, ia memasuki ruang kelasnya yang memang lagu-lagi bertemu Davin secara langsung di depannya.

"Anak-anak. Kalian mendapat murid  baru lagi, pindahan dari Amerika. Ayo perkenalan diri kamu."

"Aksenio Alvan, kalian bisa memanggil saya dengan Aksen." ucap Aksen yang memperkenalkan diri.

Setelah perkenalannya, ia diperkenankan duduk dibangku yang masih sedikit kosong.
Ia tak banyak bicara, kemudian mengambil buku yang dibawanya kemudian membacanya.

"Hai, aku Adelia. Nama kamu terlalu bagus ya, sampai membuat aku betah-betah merapalkan nama kamu dihati aku."

Aksen mengernyit bingung. Ia menetap ke depannya dengan tatapan heran. Ia menutup bukunya, lalu sedikit berdecak kesal ketika tangan perempuan itu menggengggam tangannya.

"Gue tahu, lo pasti cewek abnormal yang baru lepas dari rumah sakit. Kejiwaan lo pasti sangat terganggu ya. Apa karena lo jomblo ngenes!" sindir Aksen yang memang tak suka disentuh-sentuh.

"Kok ngomongnya gitu sih, aku kan suka sama kamu." ucap Adelia.

Aksen mengusap-ngusap wajahnya kasar. "Kok bisa sih sekolah ini nerima mahasiswa yang tingkat warasnya agak kendor. Lo emang pernah ketemu sama gue? Nggak pernah kan."

"Shuttt.. Aksen! nggak usah dengerin, dia emang rada gila setelah diselingkuhin pacarnya baru-baru ini. Gue juga pernah digituin sama dia." bisik Andra yang memang selisih tiga meja darinya.

Aksen bergidik ngeri. "Diselingkuhin?" tanya Aksen yang kemudian menatap orang yang berada di depannya itu. "Ngeri gue."

Andra sedikit tertawa. Ekspresi yang ditampilkan Aksen memang terlihat kurang menyenangkan dilihat. Seseorang yang bernama Adelia itu menatap Andra dengan tatapan sayang.

"Hai sayang. Kok kamu makin lama, makin ganteng sih. Adelia jadi makin sayang deh sama Mas Andra." gombal Adelia, sambil mengedip-ngedipkan matanya.

Semua orang tertawa. Bahkan Davin yang mendengarnya langsung terpingkal-pingkal. Memang butuh dites kejiwaan Adelia ini!

"Apaan sih lo! Gue bukan pacar loh ya, sok panggil gue Mas-mas lagi. sorry gue masih muda. Masih belum mau dipanggil Mas! Jijik tahu nggak." semprot Andra dengan tatapan ngerinya.

Aksen sedikit terhenyak. Mungkin ini gambaran kelasnya yang akan menjadi tempat menimba ilmunya hingga nanti.

*****

1025 Kata.

Aku lagi nggak banyak ide. Yaudah munculin Gina sekalian, kan emang udah saatnya semuanya muncul.. Hahaha (Ketawa jahatt! 😅)

Oh ya, salam dariku.
By: Vaa_morn.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang