Satu minggu telah berlalu. Banyak kejadian yang sudah terjadi pada hari-hari itu. Menjadi mahasiswa tingkat pertama, bertemu dengan Alissha dan Shasa pada waktu yang sama, Davin si super Aneh, kabar jadian Shasa dengan Andra, Arkan datang, lalu dengan luka memar pada tubuh Davin. Dan jangan lupakan bahwa keempatnya sudah seperti sahabat yang kenal lama.
Ana sungguh bersyukur bahwa setelah hari dimana Davin terluka karena masa lalunya, Arkan tak terlihat lagi, lantaran menjalani hukuman yang sudah diputuskan sebelumnya. Setidaknya, Ana masih bisa menyiapkan hati untuk tetap tegar ketika kembali berhadapan dengan Arkan.
Seperti kali ini, ketika Ana memasuki kelasnya bersama Shasa, sudah terlihat Arkan yang terus menatap keduanya. Tentu saja Ana maupun Shasa jengah, hari-hari buruk berada di depannya saat ini.
"Sepet gue lihat dia pagi-pagi, nggak ada yang manis-manis gitu di sini." protes Shasa yang sudah duduk dibangkunya, dan membalikkan badannya agar berhadapan dengan Ana.
"Manis? Gimana maksudnya?" tanya Ana yang bingung.
"Manis kaya Bebeb Andra gitu. Udah ganteng, humoris, pokoknya sayang pakai plus-plus lah." sambung Shasa yang terus memuji-muji Andra.
Ana memutar bola matanya malas. Ia memutar-mutar bolpoinnya, berharap Dosen yang mengajar, cepat-cepat masuk ke dalam kelas.
"By the way, Dav..." ucapan Shasa terpotong karena seseorang yang sama sekali tak ingin dilihatnya.
"Na, bisa kita ngomong sebentar. Kali ini saja." pinta Arkan yang entah dari kapan, sudah berada di depannya.
Ana memilih untuk diam saja, ia sama sekali tak ingin berbicara dengan Arkan. Melihat mukanya saja, dia sudah merasakan sakit yang luar biasa.
"Na, please kali ini aja!"
BrakKKKK..
Shasa bangkit, dan menggebrak mejanya keras. Entah kenapa melihat Arkan di depannya, hawa-hawanya ingin selalu emosi saja.
"Kalau Ana diem, berarti nggak mau. Urat malu lo udah putus ya!" bentak Shasa setelahnya.
Arkan memilih untuk menulikan telinganya. Sungguh, ia masih belum menyerah sedikit saja.
"Tolong Na, aku mohon sama kamu." pinta Arkan yang hendak memegang tangan Ana, namun ditepis keras oleh Shasa.
Arkan tentu saja emosi. Mengapa ada saja penghalang yang selalu memberhentikan jalannya. Tentu saja Arkan tak akan membiarkan itu terjadi kembali.
"Na, please!" seru Arkan yang membuat semua orang terlonjak kaget. Shasa dan Ana juga merasa kaget tentunya.
Shasa terus saja menggelengkan kepalanya pelan. Antara kaget dan heran bercampur menjadi satu. Ya heran? Mengapa Arkan telah berubah drastis. Ia lebih kasar sekarang. Shasa mengeluh, kenapa ia bisa menjadi penggemar seorang Arkano ketika masih SMA dulu.
Beda dari Shasa, Ana pun juga sama kagetnya. Arkan yang sekarang, adalah Arkan yang berbeda menurutnya. Ia lebih sering dilanda banyak emosi, yang akhirnya dapat melukai orang lain. Kenapa semuanya bisa jadi serumit ini.
Arkan hendak mendekati Ana lagi, namun Shasa dengan sigap menghalaginya. Dan apa yang dilakukan Arkan sekarang? Ia malah mendorong Shasa hingga tersungkur membentur meja di depannya.
Terkutuk lah kau Arkan! Ana langsung bangkit dari duduknya dan menatap Arkan dengan tajam.
"Lo punya hati nggak? Dia itu cewek, udah jadi banci lo!" seru Ana setelahnya.
Lagi dan lagi? Entah kenapa Arkan merasa bahwa Ana sudah berubah drastis. Tak ada Ana yang dulu mencintainya. Tapi Arkan langsung menepis pikiran buruknya, dengan menyakinkan hati bahwa Ana masih mencintainya.
"Aku nggak mau dia jadi penghalang aku untuk dekat sama kamu Na." bela Arkan setelahnya.
Ana tersenyum sinis, lalu menunjuk dirinya sendiri berkali-kali.
"Pukul gue, karena gue nggak sudi buat deketan lagi sama lo. Tinggalin gue, karena gue sama sekali nggak butuh lo dihidup gue lagi. Lepasin gue, jika emang lo rela buat ninggalin gue. Ikhlasin gue, jika emang lo pengin buat gue bahagia." Ana menjeda kalimatnya sebentar. "Dan jika lo masih belum puas! Bunuh gue jika lo pengin lepas dari rasa penyesalan lo itu, dan lo akan bebas dari rasa bersalah yang lo punya."
Kalimat terpanjang bagi mereka yang baru mengenal Ana. Pasalnya, Ana selalu menjawab apapun dengan uraikan singkat saja.
"Apa kamu lupa dengan kenangan indah yang pernah kita lalui. Bagaimana dengan tempat-tempat terindah yang pernah kita datangi? Kamu ingat, bahwa aku pernah berjanji akan bersamamu untuk selamanya." tutur Arkan setelahnya.
Bullshit. Ana maju beberapa langkah mendekat, lalu menarik kerah baju Arkan kuat. Ia sudah tak tahan lagi dengan omong kosong yang Arkan katakan saat ini.
"Gue nggak butuh omong kosong dari mulut lo! Karena apa, semuanya hanyalah dusta yang benar-benar harus gue basmi setelahnya. Percuma lo ngumbar janji, jika sama sekali nggak lo tepati!" seru Ana tepat di depan Arkan yang jaraknya beberapa senti darinya.
Ana langsung menghempaskan tangannya begitu saja, lalu membantu Shasa untuk berdiri. Setelahnya ia pergi tanpa berniat mengikuti mata kuliah yang kesekian kali.
Arkan menatap Ana yang sudah pergi. "Gue nggak bakal nyerah gitu aja Na, karena gue yakin lo masih punya rasa sama gue!"
Shasa yang mendengar hanya menoleh sekilas, dan tersenyum sinis. "Mimpi lo ketinggian. Gue jamin Ana sudah nggak ada rasa sama lo!"
Arkan yang mendengarnya langsung tersulut emosi lagi. Namun gagal diluapkan, ada Alissha yang masuk kedalam kelas dan hendak mengajar.
"Sepertinya ada yang kurang, dimana Anasthasya Azaria?" tanya Alissha yang tak menyadari kehadiran Adik Iparnya.
"Izin sebentar bu." ucap Shasa yang kemudian mengambil buku permata kuliahannya di atas meja.
_____
Ana berada di toilet, sesekali membasuh mukanya yang terlihat lelah. Hampir sepuluh menit ia disana, namun tak ada niatan untuk keluar dari sana.
Ana menatap cermin yang berada dihadapannya. Semakin lama ia menatap wajahnya, semakin terlihat juga senyuman miris yang ia pancarkan.
Sungguh wajahnya dapat dikatakan buruk hari ini.Ana menunjuk dirinya sendiri di cermin, lalu dengan seringai bibirnya, ia mulai mengeluarkan kata-kata yang sepertinya hendak meledak saat itu juga.
"Lo kurang beruntung apa coba? Masih kecil aja, lo udah dibuang. Terus diambil lagi, dan lo dihempaskan dikemudian hari yang akan datang. Kurang apa diri lo hah?" ejeknya pada diri sendiri.
"Jangan ngomong lo kurang kasih sayang! Ingat diri lo itu sebuah batu, bukan sebutir debu. Lo akan terbentur dan hancur dan itu untuk saat yang begitu yang lama. Sedangkan jika diri lo jadi sebuah debu, maka lo akan mudah terbawa angin dan singgah ditempat baru. Lo akan lemah, kalau lo hanya jadi sebutir debu saja. Inget Ana!"
Perlahan bulir-bulir air mata mulai turun dari pelipis matanya. Tak ada Ana yang terlihat kuat, karena ia sebenarnya rapuh. Namun beberapa detik kemudian, ia menghapus kasar air matanya.
"Cengeng banget lo Na! Gitu aja nangis. Inget! Lo punya tujuan di sini. Dan emang itu tantangan yang harus lo hadapi. Tapi kenyataannya, dibalik ketegaran yang lo punya, nyatanya lo nggak bisa jauh dengan kerapuhan yang berada di dalamnya." remeh Ana kepada dirinya sendiri kembali.
*****
1073 Kata.
Bingung aku buat chapter ini, nggak ada ide sama sekali dari pagi tadi. Sebel aku ini :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Fiksi RemajaSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...