Forty Three

38.2K 1.7K 8
                                    

Ternyata Hari lebih cepat berganti dari  sekarang. Ana saja sudah siap dengan setelan pakaiannya dan hendak pergi ke kampus hari ini. Ia sudah tiga hari cuti, untuk itu ia sudah sepatutnya untuk pergi ke kampus kembali.

Ana yang baru saja keluar dari kamarnya, langsung berpapasan dengan Alissha yang sudah berpakaian rapi sama seperti dirinya. Bahkan Alissha sudah sangat dikatakan siap untuk mengajar hari ini. Sedangkan Aksen yang baru keluar dari kamarnya, lebih memilih untuk berjalan lebih dulu dengan penampilan yang sedikit acak-acakan. Meskipun begitu, Aksen masih bisa dikatakan tampan, terlebih lagi untuk dilihat.

"Selamat pagi Adik Iparku yang cantiknya nggak lebih dari gue." sapa Alissha sembari menampilkan deretan giginya yang nampak putih.

Ana meletakkan kedua tangannya disamping pinggang, lalu menghembuskan napas kasar. "Kenapa?"

"Lo dari dulu nggak pernah berubah ya Na. Hawanya dingin mulu." protes Alissha yang nampak bosan dengan sifat Ana.

Sambil meniup-niup poninya, Ana berkata "Ya harus gamana lagi? Ini udah bawaan gue dari lahir."

Alissha meringis pelan. "Ya maaf."

Ana menghiraukan ucapan Alissha lalu berjalan pelan menuruni tangga. Sudah ada Devon dan Aksen yang berada di ruang makan, namun Papahnya sama sekali tak terlibat di sana. Ana tertegun, dimana Papahnya?

Ia mulai berjalan menyusul kedua Kakaknya. Namun belum saja ia menggapai ruang makan itu, bau tak sedap keluar dari dapur. Ana mulai bertanya-tanya saat ini.

"Bau apa ini Bang?" tanya Ana yang kemudian duduk di samping Aksen.

"Papah lagi masak tuh. Udah percobaan masak yang kedua puluh kalinya pada pagi hari ini, tapi kayaknya dia gagal lagi deh." jawab Devon sambil memainkan ponselnya.

Ana melotot, sedikit tak terima ketika semuanya bersantai ria di sini. Tanpa ada rasa peduli, untuk membantu Papahnya di dalam dapur sana.

"Kalian tega. Papah lagi usaha loh buat kita, masa nggak ada sama sekali yang mau bantu!" seru Ana yang kesal.

Devon memutar bola matanya malas. Kali kedua ia ditanyakan hal serupa oleh para  Adiknya itu. Dan apa yang harus ia katakan untuk menjawabnya? Memasak saja dia tidak bisa, apalagi membantu. Dia tak cukup berani, untuk menyerahkan nyawa mereka karena hasil makanan dirinya. Terakhir kali ia memasak pun pas dirinya itu ada ujian praktikum, yang tentu  mengharuskan dia terlibat dengan penggorengan dan alat dapur lainnya. Bukannya ia dipuji karena hasil masakannya. Ia harus tersenyum kecut ketika semua orang yang memakan hasil masakanya sendiri itu malah mengalami diare massal.

Alissha yang baru saja ikut duduk di samping Devon, langsung tertawa setelahnya.

"Kakak kamu itu nggak bisa masak. Dia trauma. Karena dirinya, semua orang harus ikhlas untuk mondar-mandir ke kamar mandi setiap lima menit sekali." jelas Alissha yang langsung terbahak.

Aksen pun ikutan tertawa. Ia baru tahu, jika Kakaknya punya trauma seperti itu. Pantas saja ketika dulu, dirinya selalu saja dipaksa untuk merebus air. Padahal dia pun juga turut bingung, ketika air di dalam panci sudah kosong kering tak berbekas. Padahal hampir dua jam penuh itu, yang dilakukan Aksen bermain game diponselnya sembari menunggu air itu matang. Masih menjadi misteri baginya hingga sekarang, dengan hilangnya air di dalam panci itu?

"Hai anak-anakku semua. Makanannya sudah siap untuk kalian santap. Maaf jika sedikit gosong." tutur Papahnya yang entah dari kapan sudah muncul dihadapan mereka, sembari menyiapkan makanan yang dibuat oleh Papahnya itu diatas meja.

Keempatnya sama-sama melirik kearah makanan yang dibawa oleh Papahnya. Sungguh, sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai makanan layak makan. Semuanya hampir gosong, bahkan tulang ikan yang sudah terlalu lama dipenggorengan itu sudah hampir berkamuflase menjadi abu. Ana menatap Papahnya, yang kini sudah kembali ke dapur.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang