Hera kini sibuk di rumah dengan si kecil. Putranya itu kini beranjak satu tahun. Gigi-gigi kecilnya mulai tumbuh. Hera senang bisa mengikuti pertumbuhan si kecil hingga saat ini. Ia tidak menyesal meninggalkan pekerjannya. Terbayar rasanya.
"Dhika kangen Ayah, ga?" pertanyaan Hera dibalas gumaman Dhika, "Bunda juga kangen. Kapan ya Ayah pulang?"
Akhir-akhir ini, Sabian sering pergi ke luar kota. Banyak yang memintanya sebagai pembicara. Dan sekarang, Sabian diminta menjadi pembicara di sebuah ajang internasional di Eropa mengenai media kreatif.
"Sebentar, ya, Sayang." ucap Hera pada Dhika saat mendengar nada dering ponselnya.
Ada panggilan video dari Sabian rupanya. Hera melihat Sabian berada di sebuah ruangan.
"Assalamu'alaikum, Sayang." sapa Sabian, suaranya terdengar berbeda.
"Wa'alaikumsalam, Bi. Kamu sakit?" balas Hera yang tampak khawatir.
Sabian malah bersin, "Ga enak badan biasa, Ra."
"Jangan cape-cape. Jaga kesehatan kamu juga, ya. Aku sama Dhika nungguin di rumah." Hera mengalihkan kamera ponselnya kepada anak mereka.
"Halo, Dhika. Besok Ayah pulang." wajah lesu Sabian seketika cerah dalam penglihatan Hera.
"Ayah cepet pulang. Dhika kangen. Bunda juga." Hera menirukan suara anak kecil.
Sabian terkekeh sesaat, "Maaf, ya, aku ga bisa nemenin kamu. Kamu juga istirahat kalo Dhika tidur. Liat kantung mata kamu udah gelap gitu."
Walaupun Sabian sibuk, Sabian tetap memerhatikan Hera dan Dhika. Karena baginya, keluarga adalah nomor satu. Keluarga adalah pendukung pertama. Sabian bersyukur dengan kemandirian Hera, istrinya juga berusaha mengerti dirinya.
Mata Hera berkaca-kaca, ia menunduk, "Aku sebenernya butuh kamu di sini, Bi." Hera mengangkat wajahnya, "Tapi buat yang terbaik, emang harus ada yang di korbankan, kan?
"Jangan nangis, Ra. Aku pengen peluk kamu." balas Sabian, "Makasih udah ngerti. Aku sayang kamu."
Hera mengangguk dengan senyumnya.
Sabian terlihat berbicara dengan seseorang di sana, "Besok aku telfon kamu lagi. Dadah Dhika. Ayah juga sayang kamu. Assalamu'alaikum."
Hera tersenyum, "Wa'alaikumsalam."
Dhika sangat tenang. Hera beruntung karena Dhika tidak banyak merengek. Dhika hanya akan menangis jika ia lapar dan ingin buang air.
"Makasih, ya, Nak. Makasih udah ga rewel waktu ga ada Ayah." Hera mengelus tangan kecil Dhika yang melingkari jari telunjuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Historia Corta[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...