Radhit beranjak tiga tahun. Makin senang diajak bicara. Apalagi bermain dengan kakaknya, Dhika. Di akhir pekan seperti ini, semuanya berkumpul di rumah. Hanya saja, Sabian sedang ada urusan sebentar dan akan kembali ke rumah sebelum makan siang.
Hera yang sedang menyiapkan makan siang tersenyum melihat kedua putranya rukun bermain bersama di ruang tengah. Senyum Hera tak bertahan lama. Kini, kedua putranya berebut lego milik Sabian.
"Bunda! Abangnya!" seru Radhit.
"Jangan Radhit, nanti lego Ayah rusak!" seru Dhika khawatir.
"Radhit ga rusak!" Radhit masih menarik susunan lego berbentuk mobil ayahnya dari tangan Dhika.
Hera menghampiri kedua putranya, "Sini mainannya kasih Bunda." ujarnya tegas meminta lego milik suaminya itu.
"Assalamu'alaikum..." Sabian pulang.
Saat Sabian memasuki ruang tengah, lego yang diperebutkan anak-anaknya jatuh berserakan di lantai. Hera memejamkan mata mencoba tidak memarahi kedua putranya. Dhika hanya menunduk menatap kepingan lego itu di lantai.
"Bunda! Abang jahat!" Radhit mengampiri bundanya, memeluk kaki Hera.
Sabian melihat lego yang susah payah ia susun dan kini kembali terpisah kepingannya, "Dhika, Radhit, ayo bantu Ayah susun legonya lagi." ajaknya lembut.
Radhit yang matanya masih berkaca-kaca menoleh ke arah Sabian. Sabian dan Hera tidak mendidik anaknya dengan kemarahan, kecuali jika bersangkutan dengan agama. Jika Dhika atau pun Radhit sulit diajak shalat, maka Sabian yang akan bertindak sedikit keras.
Hera menatap suaminya dengan senyum, "Makasih, ya, Mas."
Dengan begitu, Hera bisa kembali melanjutkan kegiatan memasaknya yang sempat tertunda. Jujur saja, menjadi ibu itu melelahkan baginya. Lebih melelahkan dibanding saat dirinya bekerja dulu. Apalagi pekerjaannya kini tidak hanya di rumah, Hera juga pergi ke Senada dari Senin sampai Jumat.
Siang ini Hera memasak sayur bayam dan ayam goreng, ditambah tahu dan tempe. Masakan sederhana yang bisa hanya ditemukan di rumah.
Sabian masih sibuk dengan anak-anaknya yang sudah kembali rukun saat Hera hendak memanggil tiga lelaki kesayangannya itu, "Ayo makan siang dulu."
"Kita lanjutin nanti, ya. Kita makan siang dulu." ucap Sabian pada anak-anaknya.
"Radhit meluncur, Bunda!" seru Sabian mengangkat putra keduanya.
Radhit tertawa kecil dalam dekapan ayahnya.
"Dhika juga terbang, Bunda!" Dhika menirukan gaya superman menuju ruang makan.
Hera menikmati momen ini. Mungkin ini yang akan dirindukan saat anak-anaknya beranjak besar nanti.
Seperti biasa, alurnya cepet. Biar semuanya masuk ke buku ini. Dan tunggu konflik yang akan datang di buku ini ya. Thank you.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Conto[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...