"Ayah, Bunda kenapa?" tanya Dhika bertanya takut-takut, melihat Bundanya sedang berbaring di atas kasur, tak sadarkan diri.
Sabian menggenggam erat telapak tangan putranya, "Dhika mau punya adik."
"Tapi Bunda sakit, Ayah." balas Dhika.
Sabian menatap mata putranya, "Bunda baik-baik aja. Percaya sama Ayah."
Dhika mengangguk paham.
Sebelum berada di rumah sakit, Sabian menemukan Hera di toilet sedang memegangu perutnya yang sakit. Lelaki itu panik karena tidak pernah mendapati Hera yang seperti itu. Dan Sabian bernapas lega saat dokter Ghina menjelaskan bahwa Hera sedang mengandung anak kedua mereka.
Dhika yang duduk di atas kasur, bisa melihat mata Bundanya yang perlahan terbuka, "Ayah..."
Sabian beranjak dari duduknya, mengusap puncak kepala istrinya, "You okay?" tanyanya.
Hera masih mengumpulkan kesadarannya, "Aku kenapa..." tanyanya lirih.
"You're pregnant." Sabian tidak bisa menyembunyikan raut wajah bahagianya, tak peduli betapa lelahnya dirinya di tengah malam ini.
Hera langsung menatap Dhika, "Dhika mau punya adik, Sayang..."
"Adik di situ, Bunda?" tanya Dhika menunjuk ke arah perut Hera yang masih datar.
Hera mengangguk, "Iya, Sayang."
Dhika mengarahkan wajahnya mendekati perut Hera, Sabian sudah siaga jika putranya akan bertindak ceroboh.
"Dhika, sayang, Adik." bisik Dhika.
Sabian dan Hera tersenyum saling tatap setelah melihat kelakuan Dhika yang amat menggemaskan itu. Semuanya terasa begitu tepat. Dhika di usianya yang baru berusia empat, sudah mandiri. Sabian yakin, putranya akan membantunya menjaga Hera.
Karena dokter Ghina meminta Hera untuk banyak istirahat, Sabian akhirnya tidak mengizinkan Hera pergi ke cafe. Kafka pun mengerti keadaan sepupunya itu. Dan sampai hari ketiga Hera di rumah, masih banyak yang menjenguknya.
"Lo pengen cewek atau cowok, Ra?" tanya Ratu yang sedang memangku putranya.
"Sedikasihnya aja. Gue ga mau berharap ini itu karena gue ga mau kecewa. Gue mau bersyukur sama apapun yang Allah kasih." balas Hera dengan senyum di akhir kalimatnya.
"Edan kata-katanya ini anak." Fanya menyeletuk.
"Penulis dilawan." tambah Nadia.
Kehadiran teman-temannya di sini, membuat Hera tak berhenti bersyukur. Akhir-akhir ini, ia sering sibuk dengan pikirannya sendiri di dalam keramaian. Senang rasanya ia dikelilingi orang-orang yang ia sayang. Keenam sahabatnya itu masih setia sampai saat ini, untuk menpertahankan persahabatan mereka.
"Ra, kenapa nangis?" tanya Tarra yang langsung cemas, dirinya adalah orang yang paling tidak bisa menahan air mata jika Hera menangis.
"Hah?" Hera kembali ke dunianya, ia langsung mengusap pipinya, mencari jejak air mata yang Tarra katakan.
Hera selalu sensitif saat sedang mengandung. Perasaannya mudah tersentuh. Apalagi saat ini Tarra langsung merangkul dirinya. Tangis Hera langsung pecah.
"Lo kenapa, sih, Ra?" tanya Nadia.
"Gue bersyukur banget punya kalian." balas Hera.
"Aaaaa... Hera..." Zara yang paling anti menangis, matanya sudah berkaca-kaca.
Ketujuh perempuan berhijab itu kini saling berpelukan di tengah tangis yang diiringi tawa geli. Mereka menertawakan diri mereka sendiri yang begitu cengeng. But, that's how their friendship works.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Cerita Pendek[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...