Hera menobatkan hari ini adalah hari paling repot baginya. Ia seperti merawat tiga bayi laki-laki di rumahnya. Sabian sejak semalam demam tinggi, jadi ia tidak pergi ke kantor. Hera juga harus menyiapkan segala keperluan kedua putranya. Untung saja Pak Jaya bersedia membantu Hera di pagi hari yang paling heboh itu.
"Hati-hati, ya. Jangan lupa dimakan bekelnya." ucap Hera kepada kedua putranya yang pamit sebelum berangkat ke sekolah dengan Pak Jaya.
"Iya, Bunda." jawab keduanya kompak.
"Makasih, ya, Pak Jaya. Maaf mendadak." ucap Hera pada Pak Jaya.
"Iya, Bu. Gapapa. Mari, Bu." pamit Pak Jaya.
Hera membalasnya dengan senyum.
Dhika dan Radhit sudah berangkat. Aman. Satu pekerjaan selesai. Kini, ia kembali ke Sabian yang masih meringkuk di atas kasurnya. Lelaki itu mengalami batuk dan pilek juga.
"Aku telepon Tiara kalo kamu sakit dan ga bisa ke kantor." ujar Hera begitu masuk ke dalam kamar, mencari ponselnya.
"Kamu sini, dong." Sabian memanggil istrinya untuk duduk di tepi kasur.
Sembari menunggu Tiara mengangkat panggilannya, Hera duduk di tepi kasur. Sabian menggenggam satu tangannya yang menganggur.
"Halo, Ti. Ini mau ngabarin kalo Bian ga bisa masuk kantor hari ini. Kalo ada meeting minta mundur aja. Terus kalo ada kerjaan penting diemail aja." jelas Hera pada asisten suaminya itu.
"Oke, makasih, ya, Ti." balas Hera.
Menaruh ponselnya di atas nakas, Hera beralih menatap Sabian. Lelaki itu benar-benar terlihat pucat. Hera meletakkan punggung tangannya ke dahi suaminya. Panasnya sudah turun.
"Aku bikinin bubur dulu, ya. Kamu harus makan." Hera beranjak dari duduknya, tapi lengannya ditahan Sabian.
"Kamu di sini aja." Sabian dengan sifat manjanya.
"Aku bentar doang, Bi." balas Hera.
"Cium dulu. Kamu belum cium aku pagi ini." Sabian memberi syarat.
Hera menghela napas berat dan mendaratkan ciumannya di pipi kiri Sabian.
"Di bibir, Ra." keluh suaminya.
Hera menggeleng, "Kamu lagi sakit, aku ga mau ketularan." balasnya tegas.
Hera memasak bubur sekitar dua puluh menit. Kemudian kembali ke kamar dengan nampan di kedua tangannya. Saat sampai di kamar, Sabian kembali terlelap.
Hera menaruh nampannya di atas nakas dan langsung membangunkan suaminya itu pelan, "Mas, sarapan dulu."
Sabian terbangun. Suaminya itu perlahan duduk menyandar di atas kasur. Hera tahu suaminya itu tertidur karena merasa pusing.
"Suapin." pinta Sabian.
Dengan begitu, Hera menyuapi bubur ke mulut suaminya. Momen seperti ini pun dinikmati keduanya. Jarang-jarang Sabian semanja ini dengan Hera. Jarang-jarang Hera semanis ini dengan suaminya.
Di tengah-tengah nulis esai, aku pun nulis ini wkwk
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Conto[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...