"Mas, bangun. Subuh dulu..." Hera membangunkan suaminya pelan.
Walaupun Hera kesal karena Sabian tidak menepati janjinya, ia tetap menjalankan pagi itu seperti biasa. Membangunkan Sabian untuk subuh ke masjid, sampai menyiapkan sarapan suaminya itu.
"Minum berapa banyak kamu semalam, Mas?" tanya Hera saat suaminya itu sedang bersiap di kamar.
Sabian menoleh, "Aku minta maaf soal semalem. Ga akan lagi aku mabuk."
"Tolong, ya, Mas. Aku sekarang juga mencoba memperbaiki diri untuk jadi ibu yang baik buat Dhika. Kalo Mas semalem pulang kayak gitu diliat Dhika gimana? Aku belum bisa jelasin apapun ke umur segitu. Ngerti, kan, Mas?" mata Hera sudah berkaca-kaca karena kecewa.
Selesai mengancingkan seragamnya, Sabian bergerak memeluk Hera. Erat. Sabian sudah sering membuat Hera kecewa beberapa hari terakhir ini. Hera benar, sebaiknya ia memperbaiki diri untuk memberi contoh pada putranya.
"Udah, ya. Jangan nangis. Aku salah. Maaf." Sabian mengusap puncak kepala istrinya sayang.
Hera mengusap pipinya pelan.
Sabian memegang pundak Hera, "Makasih udah ingetin aku."
Di meja makan, Dhika bercerita bahwa dirinya sudah lancar membaca iqro. Dan ia terlihat tertarik dengan cerita-cerita nabi yang selalu Hera bacakan sebelum Dhika tidur. Dhika bukanlah tipe anak yang suka dengan mainan, kamarnya saja penuh dengan buku bergambar untuk menambah wawasannya.
"Ayah, kalo libur ajak Dhika ke masjid, ya. Kata Ibu Kia, anak laki-laki baiknya shalat di masjid. Bunda juga bilang gitu." celetuk Dhika di tengah sarapannya.
Hera mengehentikan kegiatannya. Ia tercenung. Sama halnya dengan Sabian yang berhenti mengunyah makanannya. Batin Sabian sedikit tersentil akan kalimat putranya.
"Anak Bunda pinter banget, sih." Hera mencium pipi Dhika gemas.
"Iya. Nanti Ayah ajak Dhika ke masjid." balas Sabian melanjutkan sarapannya, ia mengingat satu janji yang belum ditepatinya, "Dhika mau makan siang di kantor Ayah hari ini?" tanyanya.
"Mau, mau! Boleh, kan, Bunda?" tanya Dhika antusias.
Hera tersenyum, "Boleh dong, Sayang." diusapnya puncak kepala Dhika lembut.
Dan siang itu, Hera dan Dhika kembali ke kantor milik Sabian itu. Beberapa karyawan yang mengenal Hera, menyapanya. Tak lupa mereka juga menyapa Dhika yang sangat menggemaskan. Karena Dhika tidak punya pantangan makan apapun, Hera membawa sushi kesukaan Sabian di tangan kirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Historia Corta[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...