Ini adalah hari penting untuk Dhika. Ia akan terjun ke lingkungan yang lebih luas dari sebelumnya. Seragam merah-putih melekat di tubuhnya untuk pertama kali. Hera hanya tersenyum saat melihat putranya tidak berhenti bercermin dengan wajah gembiranya.
Semalam, Hera membantu putra sulungnya menyiapkan buku-buku dan alat tulis. Dhika juga bersemangat saat Sabian mengajaknya membeli perlengkapan sekolah.
"Dulu, Bunda pas pertama kali masuk sekolah gimana?" tanya Dhika semalam.
Hera berpikir sejenak, "Waktu itu Bunda lama beradaptasi sama temen-temennya. Tapi akhirnya Bunda udah dapet banyak temen di tahun kedua."
"Gitu, ya, Bunda?" tanya Dhika lagi.
Hera mengangguk dan mengelus puncak kepala Dhika, "Besok Dhika cari banyak temen, ya."
"Siap, Bunda!" Dhika mengacungkan kedua jempolnya dengan semangat.
Seusai sarapan bersama, Dhika berangkat bersama dengan ayahnya. Hera tidak bisa ikut mengantar karena Radhit tidak bisa ditinggal sendirian di rumah. Saat masih sekolah, Hera berharap di masa depan, ia bisa mengantar anaknya ke sekolah untuk pertama kali, seperti yang ibunya lakukan. Tapi kadang kita juga harus berdamai dengan situasi yang berlawanan dengan ekspektasi kita.
"Dimakan bekel buatan Bunda, ya. Maaf Bunda ga bisa ikut nganter Dhika." Hera berjongkok di hadapan putranya.
Dhika menyalimi tangan Hera, "Gapapa, Bunda. Dhika sekolah dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." balas Hera.
Hera menyalimi tangan Sabian. Kemudian Sabian membalasnya dengan kecupan di kening Hera.
"Aku kerja dulu. Assalamu'alaikum." Sabian mengikuti gaya bicara Dhika.
Hera tertawa kecil, "Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Mas."
Kini, Hera kembali ke pekerjaannya. Melakukan pekerjaan rumah yang sudah ia jalani hampir delapan tahun ini. Kemudian mengecek keadaan Radhit yang masih terlelap. Tengah malam hingga subuh, biasanya Radhit akan membuka matanya dan membuat Hera harus begadang. Jika Radhit tidak rewel, Hera bisa dengan leluasa melanjutkan mengetik naskah bukunya di laptop. Editornya sudah menagih kelanjutan ceritanya.
Walaupun Hera sudah berhenti bekerja kantoran, Hera masih aktif menjadi penulis. Skenario yang ia tulis selama kehamilan Radhit kini sedang digarap. Menulis menjadi obat kesepiannya selama di rumah sendirian. Ia juga jarang pergi keluar rumah bersama teman-temannya dalam empat bulan terakhir. Kadang ia merindukan ketikan dirinya masih sendiri. Tapi ia juga tidak menyesali keadaannya sekarang. Ia sangat-sangat bersyukur.
Sibuk dengan gerakan jarinya di atas keyboard, tiba-tiba ada panggilan video masuk di laptopnya. Nama Fanya tertera di sana. Hera pun mengangkatnya. Di sebelah Fanya, ada Tarra yang sedang menyetir. Tak hanya itu, ada juga keempat sahabatnya yang lain.
"Kita ke rumah lo ya!" seru Tarra.
"Serius?" tanya Hera.
"Serius!" balas keenam sahabatnya kompak.
Guys, kindly check my instagram (sitiayushabira) for Through The City 100k readers giveaway.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Short Story[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...