44

5.5K 272 2
                                    

Hera merasa jauh dari suaminya. Ia hanya bertemu dengan Sabian saat pagi hari dan sebelum tidur. Sabian bekerja seharian dan akan pulang hampir tengah malam. Belum lagi, Sabian seperti menjaga jarak. Suaminya itu jadi jarang bercerita tentang kesehariannya di kantor. Cerita yang selalu Hera tunggu sebelum terlelap.

Beberapa tahun terakhir ini, banyak yang berubah. Dhika semakin dewasa karena sudah berada di tahun terakhir bangku SMP, Radhit juga sekarang sudah masuk SD, dan Syifa kini sudah masuk TK. Semua berjalan begitu saja. Hera mencoba mengerti jika dirinya bukanlah fokus utama suaminya saat ini, karena dirinya pun mengutamakan anak-anak.

"Bunda, hari Senin Dhika ga les gapapa, kan? Ada acara di sekolah sampe sore." tanya Dhika pada Hera yang sedang mencuci piring selepas makan malam.

Hera mengangguk, "Gapapa, Sayang."

"Oke, makasih, Bunda. Dhika ke atas dulu, ya. Masih banyak tugas." pamit Dhika.

Mungkin karena Dhika adalah anak pertama, dirinya jadi lebih mandiri. Sejak kelas enam, Dhika mengurus keperluan sekolahnya sendiri. Dhika menjadi anak yang bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Apalagi sekarang tinggi Dhika sudah melebihi Hera.

"Bunda..." Syifa memanggil bundanya pelan sambil menarik celana bundanya itu.

Hera mengelap kedua tangannya, kemudian berjongkok, "Ya, Sayang?"

"Ayah pulang jam berapa?" tanya Syifa memegang sebuah kertas di tangannya.

Hera melihat ke arah jam dinding, "Mungkin sebentar lagi. Emang Syifa mau ngasih apa?"

"Syifa mau ngasih ini ke Ayah. Tadi Syifa bikin di sekolah. Terus kata Bu Mita, Syifa harus kasih ini ke Ayah." jelas Syifa.

"Bunda boleh liat?" tanya Hera.

"Boleh, Bunda." Syifa memberikan kertasnya pada bundanya.

Kertas berukuran A4 itu berisi gambar keluarga kecil Pratama. Ada tulisan tangan Syifa yang masih berantakan. Syifa menggambar keluarganya itu untuk memberikan ucapan terimakasih pada ayahnya. Hari ini, ia belajar tentang sosok ayah.

"Syifa sayang banget, ya, sama Ayah?" tanya Hera.

"Sama Bunda juga sayang. Tapi Syifa jarang ketemu Ayah di rumah. Syifa kangen Ayah." jelas Syifa, ia terlihat sedih.

Sabian memang pergi ke luar kota sejak dua hari yang lalu.

"Syifa mau nunggu Ayah pulang? Ayah bilang ke Bunda bakal sampe rumah jam sembilan." jelas Hera.

"Mau, Bunda!" seru Syifa semangat.

"Ya, udah. Kita tunggu di ruang tengah aja, ya." Hera menggandeng jemari mungil milik Syifa.

Melihat Syifa kecil, seperti melihat dirinya sendiri. Hera jadi rindu dengan sosok ayahnya. Ia masih terlalu kecil saat kehilangan ayahnya. Syifa beruntung sekali karena Sabian masih bisa melihat Syifa tumbuh dewasa.

"Bunda, liat buku ensiklopedia aku ga?" tanya Radhit yang sedang menuruni tangga.

"Bunda taroh di rak buku kamu." jawab Hera setelah mencoba mengingat barang milik putranya itu.

"Kalo stik es krim yang kemarin Bunda beliin itu dimana, Bun?" tanya Radhit berhenti di anak tangga terakhir.

"Di laci meja belajar kamu, Sayang." balas Hera lagi.

"Oke, makasih, Bunda." setelah itu, Radhit kembali menaiki tangga menuju kamarnya.

"Bunda, Bang Dhika sama Bang Radhit sibuk kayak Ayah, ya?" tanya Syifa yang duduk menyandar pada bundanya.

Hera mengangguk menanggapi putrinya.

Part 42 ada yg gabisa dibuka? Coba hapus dari library terus add ke library kalian lagi ya.

Enjoy!

Love, Sha.

The Next StepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang