Sabian ditetapkan sebagai saksi. Hera menjemput suaminya itu untuk pulang ke kantor polisi. Dan karena keadaan rumahnya sudah lebih aman, Hera kembali ke rumah dengan Sabian pagi itu.
"Baru mau cerita sama aku setelah kamu ketangkep polisi, ya?" tanya Hera dalam perjalanan, ia yang berada di balik kemudi.
"Maaf, Ra. Tapi kalo aku cerita ke kamu semuanya, aku ga tau kapan selesainya. Soalnya ini akarnya dari pemegang saham sebelum Papa." kepala Sabian rasanya kembali bedenyut mengingat berkas-berkas itu.
"Kamu ga butuh pendapat aku?" tanya Hera.
"Aku minta maaf banget, tapi buat urusan ini aku emang ga minta pendapat siapa pun. Bahkan Papa udah larang aku buat naikin kasus ini ke pengadilan. Tapi aku ga mau ada hal kayak gini di kantorku." jelas Sabian sedikit menohok Hera.
"Okey... Tapi kenapa kamu ga cerita, sih, Bi." Hera masih gemas dengan suaminya yang selama ini bungkam, "Keluarga sama temen-temen pada nanya ke aku. Tapi aku kayak orang bego ga tau apa-apa, Bi. Aku ini istri macam apa, sih, Bi."
Sabian takjub dengan istrinya yang kali ini benar-benar marah terbawa emosi, "Maaf, Ra. Jangan marah." ia memelas.
"Akutuh ga mau marah sama kamu, Bi. Tapi aku udah nahan ini dari waktu polisi dateng ke rumah." Hera menghembuskan napas berat.
"Iya, Ra. Aku ngerti. Sekarang maafin aku, kan?" tanya Sabian.
"Jelasin dulu sampe aku ngerti." pinta Hera.
"Oke." Sabian menarik napas panjang, "Aku udah nyari tau tentang ini sejak Syifa umur satu tahun-"
Hera mengingat saat itu adalah saat-saat dimana Sabian sering pulang malam, "Kamu, tuh-"
"Jangan potong kalo aku lagi jelasin, ok?" Sabian ikut gemas pada Hera.
"Silahkan, lanjut."
"Pokoknya janggal banget karena perusahaan ga mungkin defisit sebanyak itu. Banyak karyawan yang gajinya ketahan karena kas perusahaan pas-pasan banget. Daffa bantu aku nyari nama-nama itu. Setelah semua nama itu aku dapet, aku minta Om Dirja bantu aku buat bawa kasus ini ke pengadilan. Dan di sinilah aku, sebagai saksi." jelas Sabian pada intinya.
"Aku tau yang kamu lewati ga sesingkat itu, Bi. Tapi kamu beneran ga terlibat, kan?" tanya Hera serius.
"Sumpah demi Allah aku ga pernah ambil sedikit pun uang perusahaan atau uang proyek." jawab Sabian.
Mobil Hera berhenti di pinggir jalan dekat rumahnya. Ternyata masih ada satu atau dua media yang menunggu di sana.
"Kamu sembunyi di belakang. Biar aku yang hadepin mereka." rencana Hera mendapat tatapan tidak setuju dari Sabian.
"Kamu lupa kalo aku pernah jadi reporter kayak mereka? Mereka sama kayak aku yang pengen naik jabatan, jadi mereka ga akan pulang sebelum aku kasih jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka." lanjut Hera.
Mau ngasih tau aja, kalo cerita ini so close to ending.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Short Story[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...