31

6.6K 399 4
                                    

Hera mengalami kontraksi ringan di malam hari. Beruntung karena Sabian malam itu pulang tepat waktu. Dan Nia juga sedang menginap di rumah mereka. Nia memang selalu siaga saat Hera sudah dekat dengan tanggal kelahiran cucunya.

"Kamu bawa Hera ke rumah sakit duluan. Dhika biar sama Ibu aja. Nanti kami nyusul sama Ares." saran Nia pada Sabian yang sudah kelewat panik.

"Bian minta tolong siapin barangnya Hera, ya, Bu."

"Iya, Nak. Hati-hati, ya." balas Nia lembut.

Hera selalu melahirkan di tanggal yang lebih awal dari perkiraan dokter. Seminggu. Baik Hera maupun Sabian, keduanya belum mempersiapkan apapun untuk dibawa ke rumah sakit.

Setelah merapihkan perlengkapan untuk Hera ke dalam tas, Nia bergegas ke kamar Dhika. Di tengah malam ini, ia harus membangunkan Dhika.

"Dhika..." ucap Nia lirih.

"Oma?" Dhika mulai membuka matanya sedikit.

"Dhika, Bunda mau melahirkan. Ikut Oma ke rumah sakit, yuk. Om Ares bentar lagi sampe." jelas Nia.

Dhika duduk, mengusap matanya. Mendengar Bundanya akan melahirkan adiknya, Dhika langsung tersadar. Kemudian terdengar suara klakson mobil dari halaman rumah.

"Ayo, Sayang." Nia menggandeng tangan mungil milik Dhika.

Dhika tertidur selama perjalanan. Akhirnya Ares menggendong anak itu sampai di ruang tunggu. Di sana sudah ada Pak Wisnu dan istrinya. Sudah dipastikan Sabian menemani istrinya di dalam sana.

Menit demi menit berlalu. Dhika juga masih terlelap dalam pangkuan Nia. Cucunya itu masih nyenyak dalam mimpinya. Dan bisa dipastikan besok Dhika izin tidak masuk sekolah.

Tepat pukul 03.23 dini hari, putra kedua keluarga Pratama lahir di dunia. Radhitya Farris Pratama. Yang akan disapa dengan nama Radhit.

Semuanya terasa sama seperti saat Hera melahirkan Dhika. Hati Hera masih sama rasanya tergetar saat Sabian mengumandangkan adzan pertama ke telingan Radhit. Pahlawannya kini bertambah satu. Radhit akan menjadi pelindungnya kelak, sama seperti Dhika.

Dhika diizinkan masuk ke ruang rawat setelah berjanji tidak akan berisik. Dhika sangat ingin melihat adiknya yang masih selembut kapas itu. Dari duduknya di samping Hera, ia bisa melihat adiknya masih terpejam.

"Halo, Abang. Akhirnya Radhit ketemu sama Abang." Hera yang sedang menimang Radhit melembutkan suaranya untuk menyapa Dhika.

"Dhika boleh pegang, Bunda?" tanya Dhika ragu.

"Boleh, Sayang." balas Hera.

Dhika mendekatkan tangannya ke arah Radhit yang terbalut selimut hangat. Ia mengelus pelan bagian kanan tubuh Radhit.

"Kecil banget, Bunda." celetuk Dhika.

Hera tersenyum.

"Radhit, Abang bakal nunggu kamu besar. Kita bisa main bareng nanti." kalimat itu terlontar dari bibir mungil Dhika.

Double!

Love, Sha.

The Next StepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang