34

5.9K 304 1
                                    

Hera sudah cantik dengan dress marunnya. Tarra menatap puas hasil karya di wajah sahabatnya itu. Semenjak sibuk memiliki anak, Hera tak mau repot-repot berdandan. Di samping dirinya juga tidak pergi kemana-mana. Dan hari ini, Hera kembali menjadi Hera yang sangat memerhatikan penempilannya.

"Radhit, liat Bunda kamu cantik banget, ya?" celetuk Nadia pada Radhit yang tenang berada di gendongannya.

"Radhit anteng banget, sih, Ra." Ratu ikut mendekat kepada Nadia yang sedang menimang Radhit.

"Kalian mau nambah bilang aja." canda Hera.

Nadia langsung menggeleng cepat, "Ga. Udah cukup dapet dua juga."

"Lo sendiri mau nambah, Ra?" tanya Ratu.

"Pengennya. Belom dapet cewek soalnya." jawab Hera sambil tertawa kecil.

Hera ditahan oleh teman-temannya di kamar tamu sejak Sabian sampai di rumah sore tadi. Sabian sendiri bersiap di kamarnya dengan Dhika. Dhika bersemangat melihat kedua orang tuanya terlihat rapih malam ini.

"Ayo, Ra." Zara meminta Hera keluar dari kamar, sudah ada Sabian yang menunggunya di luar sana.

"Bunda cantik banget!" seru Dhika membuat Sabian menoleh ke arah istrinya.

Sabian tersenyum. Satu buket mawar merah ada di tangan kanannya. Hera menatap takjub suaminya yg berbalut kemeja senada dengannya.

"Sini gue foto dulu." Fanya mengeluarkan ponselnya, "Nad, kasih Radhitnya ke Hera."

"Kalian di sebelah situ aja fotonya biar backgroundnya bagu." Tarra mengarahkan pasangan suami istri itu.

Sabian dan Hera berdiri bersisian. Radhit berada di gendongan Hera. Dhika digandeng oleh Sabian.

"Lucu banget, sih!" seru Livia.

Setelah acara foto-foto yang pastinya heboh, Hera dan Sabian pun pamit. Beruntung karena Radhit bisa tidur lebih awal dan tenang bersama Nadia, jadi Hera tidak perlu membawa putranya itu keluar.

"Udah lama, ya, Ra, kita ga jalan berdua gini." ucap Sabian yang mengendarai mobilnya.

Hera tersenyum, "Iya. Udah delapan tahun aja, ya, Bi."

Malam ini, Sabian benar-benar memperlakukan Hera seperti Tuan Puteri. Ia tidak ingin melewatkan malam ini dengan sia-sia.

"Ra, makasih buat delapan tahun ini. Aku ga berhenti bersyukur punya kamu dan anak-anak. Makasih buat selalu ada di samping aku." ucap Sabian menggenggam tangan istrinya di atas meja.

Hera yang mudah tersentuh, matanya sudah berkaca-kaca, "InsyaAllah, apapun yang terjadi, aku bakal tetep di sisi kamu. Makasih udah mau jadi ayah yang siaga buat anak-anak. Makasih udah jadi suami yang mau bimbing aku ke jalan yang lebih baik."

Begitulah cara mereka mempertahankan satu sama lain. Bersyukur dan ikhlas. Karena ketika apapun dijalani dengan rasa syukur dan ikhlas, semuanya akan terasa mudah. Juga agama yang menjadi tiang terpenting dalam pernikahan. Sabian dan Hera mencoba menyempurnakan agama mereka untuk menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka.

Enjoy!

Love, Sha.

The Next StepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang