45

5.8K 299 1
                                    

"Jangan ngerepotin Om Ares Tante Ina, ya." Hera berpesan kepada ketiga anaknya.

"Iya, Bunda." balas ketiganya.

"Dhika, dijaga adik-adiknya." pesan Hera kepada putra sulungnya.

"Iya, Bunda." balas Dhika.

Ares, paman trio R—begitu Ares menyebut tiga keponkannya itu—, mengajak ketiga keponakannya jalan-jalan bersama di akhir pekan ini. Sudah menjadi rutinitas menghabiskan akhir pekan seperti ini. Raefal juga kadang berkunjung ke rumah Hera. Begitulah cara Hera dan Ares membuat anak-anak mereka bisa akrab.

"Mbak nitip mereka, ya, Res." pesan Hera.

"Mbak protektif banget sama anak-anak." balas Ares yang langsung mendapat pelototan tidak suka dari Hera.

"Balikin anak Mbak besok tepat waktu, ya." pesan Hera lagi.

"Kebanyakan pesen deh, Mbak. Ares pamit dulu. Assalamu'alaikum." pamit Ares menyusul anak-anak ke dalam mobil.

Hera berterimakasih untuk hari ini. Setidaknya ia memiliki waktu berdua dengan Sabian untuk mengobrol. Hera tidak berani mengobrol berdua dengan Sabian saat anak-anak ada di rumah. Takut-takut jika keduanya kelepasan karena emosi. Hera tidak mau memberi contoh buruk pada anak-anaknya.

Beberapa hari lalu, Hera mendapat kabar dari Daffa bahwa sesuatu yang tidak beres terjadi di kantor. Hal itu makin menbuat Hera khawatir karena suaminya lebih banyak diam akhir-akhir ini. Hera merasa ada yang aneh juga dalam hubungannya dengan Sabian.

"Mas..." Hera menghampiri Sabian yang sedang bersantai di halaman belakang.

Sabian menoleh pada Hera yang membawakannya minuman dan camilan. Ia baru pulang dari olahraga larinya berkeliling komplek. Dan Hera memang biasa membuatkan suaminya camilan saat Sabian sampai di rumah.

Hera duduk di sebelah Sabian, "Aku boleh nanya sesuatu?" tanyanya.

Sabian yang sedang meneguk jus jambu yang dibuat istrinya, mengangguk.

"Aku denger dari Daffa kalo kamu ga buka MDP tahun ini. Banyak program yang diberhentiin juga. Satu lagi, ga ada acara penghargaan yang biasanya kita adain tiap tahun. Kamu masih ga mau cerita sama aku?" Hera langsung mengeluarkan isi kepalanya selama seminggu terakhir ini.

Sabian menoleh takjub pada istrinya.

"Jujur, ya, Mas. Dengan komunikasi kamu yang semakin minim sama aku, aku juga merasa hubungan kita ga baik-baik aja. Mungkin kamu ga pengen buat anak-anak khawatir kalo kita obrolin ini di rumah. Aku bisa ngerti. Tapi sampe kapan? Kamu sendiri yang bilang sama aku, kalo aku punya kamu untuk berbagi. Kamu juga punya aku, Mas." Hera melanjutkan kalimatnya.

Sabian menatap lurus ke kolam, "Keuangan perusahaan defisit, Ra. Makanya semua terhambat. Dan aku juga masih cari penyebabnya." jelasnya.

"Pemegang saham pada angkat tangan?" tanya Hera.

"Papa masih mau bertahan. Tapi yang lainnya engga. Rating acara juga ga memuaskan. Itu penyebab lainnya." Sabian menganggap Hera mengerti masalah ini, karena istrinya ada di sana saat ayahnya mengalami hal kritis sepertinya saat ini.

"Kamu tau ini berat buat kamu, kan?" tanya Hera yang langsung dibalas anggukan oleh Sabian, "Harusnya kamu cerita ke aku juga. Apapun yang kamu alami di luar sana, akan berdampak juga sama rumah tangga kita."

"Maaf, Ra. Apapun yang terjadi, kamu ga bakal kemana-mana, kan?" tanya Sabian seakan mendapat kekuatan baru.

Hera mengangguk menatap mata suaminya itu penuh keyakinan.

Wow. Aku kaget sendiri bisa nulis sampe 500 words. Ehehe...

Enjoy!

Love, Sha.

The Next StepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang