29

6.6K 388 4
                                    

Hera baru saja selesai memakai kerudungnya di depan cermin. Ia melihat suaminya kesulitan memakai dasi dari cermin. Hera menghampiri Sabian. Dimaklumi saja Sabian tidak mahir memakai dasi karena lelaki itu memang tidak memakai dasi ke kantornya untuk sehari-hari.

"Sini aku bantu, Mas." Hera menghentikan gerakan Sabian yang membuat dasinya makin terlihat berantakan.

"Kamu seharian ini diem aja, kenapa?" tanya Sabian pada akhirnya.

Hera menatap sekilas mata Sabian. Ia menyelesaikan ikatan dasinya. Merapihkan sedikit kemeja putih suaminya. Hera sedang tidak ingin membicarakannya.

Saat Hera menjauh, Sabian menahannya lembut, "Kamu kenapa? Cerita sama aku. Kamu sendiri yang bilang kalo komunikasi itu penting." Sabian benar-benar bertanya dengan nada lembut.

"Aku ga mau ngomongin ini sekarang, Mas." balas Hera.

"Tapi kalo ga kamu bagi ke aku, kamu bakal kepikiran terus. Gapapa, Ra." Sabian mengelus kedua pundah Hera pelan.

Hera menghembuskan napas berat, "Tentang lahiran dan sekolah Dhika, Mas. Kamu emang ga berat? Aku lahiran terus ga lama setelah itu Dhika masuk SD."

Sabian menggeleng pelan, "Engga, Sayang. Kita bicarain ini nanti sepulang dari acaranya Ares, ya. Ga usah terlalu dipikirin." Sabian mengecup sebentar kening Hera.

Hera mengangguk pelan.

Sabian dan Hera mengenakan pakaian formal sore ini. Mereka mendatangi undangan Ares dalam rangka memperkenalkan perempuan yang akan dipinangnya secara resmi. Makan malam keluarga biasa.

Allure menjadi pilihan Ares. Restoran berbintang yang memiliki private room itu merupakan pilihan yang tepat untuk perkumpulan keluarganya. Athena, namanya. Perempuan yang akan dipinang Ares. Hera mengenal perempuan itu sejak adiknya SMA. Athena atau yang biasa dipanggil Ina itu sering datang ke rumahnya dulu.

Suara ketukan pintu dari luar kamar, membuat pasangan suami istri itu membuka pintu. Dhika berdiri di sana dengan kemejanya. Mereka sudah siap untuk pergi.

"Dhika, Ayah titip Bunda di belakang, ya." pinta Sabian saat memasuki bangku setir.

Dengan kondisi perut yang makin membesar, Hera kesulitan memakai sabuk pengaman. Akhir-akhir ini ia memilih duduk di kursi penumpang selama berpergian.

"Siap, Kapten!" seru Dhika semangat.

Hera tersenyum. Ia menikmati setiap detiknya bersama dua lelaki paling berharganya. Hera hidup tanpa sosok seorang ayah di sisinya. Kadang ia ingin tahu bagaimana rasanya mendapat perhatian dari seorang ayah. Setidaknya dengan kehadiran Sabian dan Dhika bisa sedikit mengobati rasa rindunya dengan almarhum ayahnya.

"Bunda, kenapa nangis?" tanya Dhika yang sedari tadi memerhatikan ibunya.

Hera menyadari matanya sudah tergenang air mata. Ia mengusapnya terburu-buru.

"Kamu kenapa?" tanya Sabian khawatir, ia melihat Hera dari rear-view mirror.

Hera menggeleng sambil tersenyum, "Inget Papa."

Akhirnya update lagi. Maaf ya kalo lama update, aku lagi sibuk mau persiapan ospek. Maklum maba ehehe

Enjoy!

Love, Sha.

The Next StepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang