Sejak pagi, Hera sudah menemani putranya yang bersiap untuk pertunjukannya hari ini. Dhika berulang kali meminta Hera mengetes kelancaran dialognya. Dhika menjadi pemeran utama di drama kali ini.
"Bunda, Ayah dateng, kan?" tanya Dhika yang sudah mengenakan kostum pangerannya dengan cemas.
Hera berjongkok, menggenggam jemari mungil Dhika, "Ayah pasti dateng." ia meyakinkan dirinya sendiri juga putranya.
"Dhika??" suara lembut Dira mengalihkan perhatian Dhika.
Mendapati Dhika yang sedang berhadapan dengan Hera, Dira memilih menghampiri pasangan ibu dan anak itu.
"Pagi, Bu Hera." sapa Dira
Hera bangkit berdiri, "Pagi, Bu Dira. Oh iya, selamat buat pernikahannya, ya."
Dira tersenyum, "Ah, iya. Makasih, Bu." ia beralih pada Dhika, "Dhika, kita siap-siap dulu, ya. Mari, Bu."
"Semangat, Dhika!" seru Hera pelan menyemangati putranya.
Dhika pergi ke belakang panggung dengan Dira. Hera takut Dhika kembali kecewa jika Sabian tidak bisa datang lagi. Beberapa kali Hera menelfon suaminya dengan cemas. Sampai tiga puluh menit sebelum pertunjukkan, Sabian belum juga mengangkat panggilannya.
"Hera!" Hera membatalkan langkahnya menuju teater karena mendengar seseorang memanggil namanya.
"Aku belum telat, kan?" tanya Sabian begitu sampai di sebelah Hera.
Hera merangkul lengan Sabian, "Makasih udah nyempetin dateng, Mas." senyum tidak bisa luntur dari wajahnya.
Sabian tersenyum, "Aku bawa ini buat Dhika." ia mengangkat lengan satunya, ada buket bunga kecil untuk putranya.
"Ayo masuk, Mas. Dhika pasti seneng banget kamu dateng." Hera menarik lengan suaminya untuk masuk ke dalam teater.
Pasangan suami istri itu memasuki teater yang sudah penuh dengan orang tua siswa. Beruntung karena kursi jajaran depan masih ada yang kosong. Sabian duduk di sebelah kanan Hera. Keduanya duduk di jajaran paling depan.
Teater dibuka dengan tarian. Setelah tarian itu, Dhika muncul dengan gagahnya. Hera yang sudah menyiapkan ponselnya, merekam aksi putranya di atas panggung. Dhika belum menyadari kehadiran kedua orang tuanya. Saat Dhika bermonolog di tengah panggung, binar di matanya terlihat. Ia senang ayahnya bisa hadir di momen spesialnya.
"Ra, kayaknya aku ga bisa sampe beres." mata Sabian tak bisa beralih dari ponsel di tangannya.
Hera menatap Sabian tidak percaya, "Mas..."
"Maaf, Ra. Ini penting." Sabian sudah akan beranjak dari duduknya, tapi ia ditahan oleh Hera.
"Dhika ga penting ya, Mas?" Hera tak berhenti menatap netra suaminya.
Sabian mengecup puncak kepala Hera, "Sampaikan maaf aku ke Dhika." setelah menyerahkan buket bunga, Sabian berlalu.
"AYAH! Berhenti!" seruan itu menghentikan langkah Sabian, itu suara Dhika.
"Mereka ini teman-teman aku. Mereka yang selalu ada. Ayah kemana aja selama ini?" kalimat Dhika merupakan dialog dalam naskah, tapi rasanya sangat menohok Sabian.
Sabian berdiri di tengah tangga teater, terdiam. Melihat Dhika yang penuh dengan penghayatan di atas panggung.
Halo!
Aku udah selesai bikin plot cerita ini. Dan kira-kira bakal sampe part 40an. Karena cerita ini aku sengaja bikin cepet alurnya. Ada poin yg belum tersampaikan di cerita ini. Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Short Story[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...