25

7.2K 434 1
                                    

Di akhir pekan yang cerah itu, Hera baru saja menyelesaikan masakannya. Selepas menata piring dan masakannya di atas meja makan, Hera mencari keberadaan dua orang berharganya di rumah ini. Akhir pekan seperti ini, ayah dan anak itu pasti menghabiskan waktu mereka di ruang bermain milik Sabian. Ya, suaminya itu memiliki hobi mengoleksi mainan.

Membuka pintu perlahan, Hera bisa melihat putranya sedang sibuk menyusun lego, didampingi ayahnya, "Waktunya makan siang!" serunya.

"Ayah, ayo!" Dhika menarik lengan ayahnya untuk bangkit.

Hera tersenyum kecil melihat interaksi pasangan ayah dan anak itu. Saat hari libur seperti ini, Dhika akan lebih lengket dengan ayahnya. Melupakan keberadaan Hera. Tapi saat tidak ayahnya, Dhika begitu menjaga Hera.

"Nanti sore ada yang mau nganter Bunda ke supermarket?" tanya Hera di tengah makan siang.

"Dhika mau ikut, Bunda!" serunya bersemangat.

"Emang ini udah awal bulan, ya?" tanya Sabian.

"Masih tengah bulan, kok. Aku cuma mau cari beberapa keperluan yang udah abis aja." balas Hera.

Sabian mengangguk, matanya kini terpaku pada perut Hera yang sudah terlihat membesar, "Nanti aku minta Bi Sur ke sini buat bantu kamu bersih-bersih rumah, ya." gumamnya.

"Hah? Kok, tiba-tiba? Aku masih bisa ngerjain semuanya sendiri, kok." Hera bertanya heran.

"Aku ga mau kamu kecapean. Seminggu sekali aja Bi Sur ke sini. Ya?" Sabian akhirnya meminta persetujuan istrinya.

Dan Hera hanya bisa menuruti permintaan suaminya.

"Bunda." Dhika meraih lengan Hera.

Hera sedikit menunduk karena Dhika memintanya mendengarkan sesuatu yang akan ia bisikkan kepada Bundanya. Sabian dibuat bingung ketika Hera mengangguk.

"Ada yang disembunyiin dari Ayah, ya?" Sabian akhirnya bersuara setelah merasa terasingkan.

Kini Sabian mendapat tatapan aneh dari keduanya yang baru saja berbisik-bisik. Hera kembali duduk tegak, ia yang akan menjelaskannya pada Sabian tentunya.

"Gini, Mas. Dhika hari Rabu nanti ada pementasan drama di sekolahnya. Mas bisa dateng ga?" tanya Hera.

Sabian yakin. Dhika tidak berani bertanya padanya langsung karena dirinya selalu membuat putranya itu kecewa. Di pementasan yang sebelumnya, Sabian tidak bisa datang dan tidak memberi kabar karena ada pertemuan mendadak. Dhika mendiamkan ayahnya selama beberapa hari. Sabian ingat persis kejadian itu.

Sabian menatap putranya, "Ayah usahain, ya, Dhika. Tapi Ayah ga bisa janji."

Dhika mengangguk lesu. Tentu ia sangat menginginkan Ayahnya ada di sana, melihat penampilan yang ia kerjakan selama ini.

"Kalo Ayah ga bisa, kasih kabar ke Dhika sama Bunda, ya." pinta Dhika.

Sabian mengangguk. Sedikit lega karena putranya sudah jauh lebih terbuka untuk mengerti kesibukannya. Tapi dirinya juga ingin sekali menonton pertunjukkan Dhika di tahun terakhirnya di taman kanak-kanak.

Hayo siapa yang seneng akhirnya aku update???

Enjoy!

The Next StepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang