Selepas pementasan teater Dhika, Sabian dan Hera menunggu putra mereka di pintu backstage. Sabian tidak meninggalkan teater. Ia terpaksan menunda pekerjaannya karena Dhika memang lebih penting. Jika Sabian tidak bisa membuatnya tersenyum, seharusnya ia tidak membuat putranya itu kecewa.
Hera membalas genggaman suaminya dengan erat, "Dhika pasti lebih seneng kalo kamu yang ngasih bunganya langsung."
"Aku salah, ya, Ra?" gumam Sabian.
Hera menoleh pada Sabian, "Kenapa?"
"Dhika juga anak aku. Aku juga harusnya selalu ada buat dia, bukan cuma kamu. Harusnya aku nikmatin masa-masa emasnya Dhika sekarang. Aku terlalu sibuk kerja, Ra." jelas Sabian.
"Makasih, ya, Mas." Hera bersungguh-sungguh.
"Ayah! Bunda!" Dhika berlari kecil menghampiri kedua orang tuanya.
Sabian dan Hera berjongkok supaya bisa sepantar dengan putranya. Dhika memeluk Sabian dan Hera bergantian. Hera membalasnya dengan ciuman di kening.
"Ini buat Dhika." Sabian menyerahkan buket bunga yang ia bawa tadi.
Dhika memeluk ayahnya lagi, "Ayah, makasih, ya. Dhika seneng banget Ayah bisa dateng. Makasih."
"Dhika keren." Sabian mengacungkan dua jempol pada Dhika.
Sejak hari itu, Sabian banyak menghabiskan waktunya bersama Dhika. Ia menemukan bahwa waktu bersama keluarga bisa menghilangkan penatnya. Hal itu juga dilakukan untuk membantu Hera yang perutnya sudah makin membesar.
Hera kini sedang mengintip kedua laki-laki berharganya yang sedang mengaji di musola rumahnya selepas maghrib. Sabian membantu Dhika menyelesaikan iqro-nya. Seminggu sekali, Dhika juga diminta Sabian menghafalkan surat-surat pendek dan doa sehari-hari.
"Udah dapet surat apa hari ini?" tanya Hera memasuki ruangan kecil itu.
"Al-Alaq, Bunda. Minggu depan Dhika ganti surat." jawab Dhika semangat.
Dhika memang tidak bersekolah berbasis agama, jadi Hera dan Sabian menyiasatinya sendiri di rumah. Apalagi mereka berdua kini mendidik anak laki-laki yang akan bertanggung jawab di masa yang akan datang nanti. Mereka tidak ingin gagal.
Hera mengambil duduk di antara Sabian dan Dhika, "Good job!" ia mengelus puncak kepala putranya.
Mata Dhika terfokus pada perut Hera, "Wah, perut Bunda udah besar."
"Dhika mau pegang?" tanya Hera.
"Mau, Bunda."
Hera mengarahkan tangan kecil Dhika ke perutnya yang dibalut daster. Dhika mengusap perut ibunya pelan.
"Baik-baik di perut Bunda. Abang ga sabar ketemu kamu." ucap Dhika lembut.
"Dhika mau dipanggil abang?" tanya Sabian.
Dhika beralih menatap ayahnya, "Mau, dong. Bentar lagi, kan, Dhika punya adik. Ya, kan, Bunda?"
Hera mengangguk pelan dengan senyum, "Iya, Sayang."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Cerita Pendek[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...