Hera dan Sabian terlibat perbincangan serius di minggu terakhir bulan itu. Tentu saja masalah keuangan. Walaupun Sabian berpenghasila lebih dari cukup dan Hera juga punya penghasilan sendiri untuk memenuhi keinginannya, mereka berdua harus berpikir untuk jangka panjang.
Perlengkapan untuk kamar bayi, biaya persalinan, dan biaya pendidikan anak nantinya menjadi pertimbangan. Hera selalu membuat daftar sebelum belanja, supaya tidak melebihi anggaran. Ia baru menyadari ternyata keuangan keluarga sudah membuat kepalanya pening.
"Besok jadi mau ke IKEA?" tanya Sabian menghampiri istrinya yang sedang memijit kepalanya di atas sofa.
"Jadi." balas Hera, ia baru saja menyandarkan punggungnya di sofa.
Tak hanya Sabian yang duduk di atas sofa. Ruby, kucing berkaki pendek itu pun mengikuti majikan favoritnya untuk ikut naik ke atas sofa. Ia mengeong manja pada Sabian.
"Ruby, aku yang ngurus kamu. Kenapa kamu malah nempelnya sama dia?" Hera pura-pura kesal dengan kucingnya.
"Soalnya Papa yang kasih uang ke Mama buat rawat aku." Sabian membuat suaranya seperti anak kecil.
Hera mendorong pundak suaminya, "Apaan sih kamu?"
Sabian malah tertawa. Hera memang suka tertawa, Sabian tahu itu. Tapi istrinya terlalu serius menghadapi masalah kehidupan. Ia selalu berusaha mencairkan suasana dalam pikiran Hera.
"Kalo Ruby aja manggil aku Papa dan manggil kamu Mama, anak kita nanti manggil kita apa?" tanya Sabian mengelus perut istrinya lembut.
Pipi Hera memanas. Sabian jarang berkata manis sebelumnya. Sejak Hera hamil, suaminya itu lebih manis dan protektif.
"Aku mau dipanggil Bunda. Kalo kamu? Ayah mau?" tanya Hera menatap Sabian.
"Ayah sounds good." balas Sabian setelah berpikir.
Mereka berdua menikmati hening. Hera merasa nyaman dengan momen ini. Sementara Sabian sedang berkutat dengan pikirannya.
Hera menoleh ke arah Sabian, "Kamu kenapa?" tanya Hera saat melihat ekspresi serius suaminya.
Sabian masih bungkam. Ia menimbang untuk bercerita atau tidak. Takut jika Hera merasa terbebani.
"Kamu yang bilang sendiri kalo ada apa-apa cerita." Hera menanggapi kebungkaman suaminya.
Sabian duduk menghadap Hera, "Kamu tau kan kalo perusahaan aku ga mengutamakan rating? Ayah selalu nekanin itu ke aku. Yang penting program-program kita kreatif."
Hera menangguk.
"Aku bingung. Mau nambah kuota penerimaan iklan dan partnership atau memberhentikan paksa satu program. Perusahaan lagi rugi, Ra. Aku khawatir ga bisa gaji karyawan." jelas Sabian.
"Udah ngobrol sama Ayah?" tanya Hera.
Sabian mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next Step
Short Story[COMPLETED] Hera Anindhita dan Sabian Pratama diuji dalam kehidupan pernikahan mereka. Hera bersiap untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sabian juga mendapat pengalaman pertamanya sebagai ayah. Mereka berdua berusaha menjadi orang tu...