01

26.3K 1.1K 3
                                    

Hera masih bekerja dengan perut yang mulai membesar. Ia memakai seragam khusus untuk ibu hamil. Sampai di mejanya, Hera duduk di kursinya, menyandarkan punggungnya sejenak.

"Sumpah, ya, Ra. Gue, tuh, ngeri liat perut lo kayak gitu dan lo masih ngantor." ucap Ina yang sedari tadi mengawasi Hera.

"Santai aja, Na. Anak gue kuat, kok." balas Hera dengan senyum.

"Udah berapa bulan, Ra?" tanya Rafi.

"Tujuh." jawab Hera sambil mengeluarkan laptop dari tasnya.

"Ga kerasa, ya. Lo udah mau resign lagi." Ina menyandarkan punggungnya, "Perasaan lo baru kemaren mau resign gara-gara mau ke Inggris. Taunya malah dapet si Bos."

"Jangan lupa tarik Dimas ke sini lagi, Na. Kalo HRD kasih kalian junior, tolong bantu mereka, ya." pesan Hera.

"Siap!" seru ketiganya.

Hera dan Sabian berencana pulang lebih awal karena ada janji dengan dokter Ghina. Sabian sudah berada di kubikel Hera karena perempuan itu masih sibuk dengan laptopnya.

"Udah, lah, Ra. Besok lagi aja." ujar Ina yang tahu bahwa Sabian sudah berdiri lama di samping istrinya.

"Bentar lagi beres, kok." mata Hera masih tidak berpindah dari layar laptopnya, "Nah, udah. Udah gue kirim ke email lo, ya, Na."

"Ayo. Jadi, kan, ke dokter Ghina?" tanya Hera beranjak dari duduknya.

Sabian sebenarnya tidak suka dengan Hera yang masih aktif di kantor. Di awal kehamilan, Hera sangat rentan. Ia sudah meminta Hera untuk berhenti sejak istrinya itu hamil. Hera menolak dengan tegas tentunya dan memberi penawaran ia akan berhenti setelah melahirkan.

Setidaknya dalam pernikahan ini, keduanya tidak lupa untuk saling berkompromi. Karena saling mengerti tidak akan bertahan lama. Perlu ada diskusi juga tentunya. Hera yang diajarkan orang tuanya untuk menuruti suami, akhirnya menurunkan egonya.

The Next StepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang