47. Keep me

135 32 60
                                        

"Tunggu, jangan main kabur aja kamu. Maksud kamu princess Aurora kutukan itu apa?" Jeno menghalangi langkah kedua gadis yang hendak beranjak dari depannya.

"Tu kan Ra, beneran ni anak ga tau kayaknya." Yena menatap Sakura kemudian ke arah Hanna, "Hebat juga lo ya, Na. Satu rumah sama lo juga bisa lo tipu, apa jangan-jangan suami lo juga ga tau, ya?" Yena menutup mulutnya sendiri. Orang yang ada di sekitar itu juga tampak terkejut.

Tubuh Hanna bergetar. Dia benar-benar sangat ketakutan sekarang. Bagaimana jika nantinya Jeno tahu yang sebenarnya? Semua orang yang selama ini ada di sampingnya sudah menjauhinya. Dan jika Jeno juga. Maka, dia akan benar-benar sendirian

"Aku nanya dijawab!" bentak Jeno kesal. Yena dan Sakura sontak terkejut.

"Di-dia penyakitan. Dia itu sakit syndrom putri tidur," jawab Sakura gugup. Sorot matanya berbeda dari sebelumnya, tampak ketakutan.

"Terus?" Ucapan Jeno membuat semua menatap ke arahnya serentak, tak terkecuali Hanna yang menatapnya tanpa berkedip. "Memangnya kenapa kalau Hanna kena syndrom putri tidur? Kutukan? Tahu dari mana kalian kalau dia kena kutukan? Emang kalian dukun? Mbah aku yang dukun aja ga berani ngomongin orang sembarangan kena kutukan loh." Jeno menatap sekeliling. Semua tampak menciut. Tidak lagi berani melemparkan tatapan menyudutkan pada Hanna lagi. "Besok-besok aku aduin sama mbah Jhony aku kalian ya, biar beneran kena kutukan kalian semua." Jeno menyudahi omelannya kemudian beranjak dari posisinya sambil menarik tangan Hanna.

"Woi, sok pahlawan!! Emang lo berani tanggung jawab kalo kita di sini ada yang kenapa-napa?" teriak Chenle. Jeno menghentikan langkah menoleh ke arah pengisi suara kaleng itu. Chenle sedang menatapnya tajam. "Kita di sini ga mau tahu, pokoknya Hanna ga boleh gabung sama kita lagi. Lo masih anak baru juga udah belagu. Belum juga se populer Guanlin, Lo."

"Aku jadi curiga kalau ini emang ulah Guanlin, bener ga, Na?" tanya Jeno menoleh ke arah Hanna. Gadis di sampingnya mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Main nuduh sembarangan lagi. Wah, bener kata Guanlin emang perlu ada pelatihan anak baru di sekolah ini kali ya," ujar Chenle lagi. Semua orang di kantin kembali ribut.

"Dimana Guanlin?!" bentak Jeno sambil menatap sekeliling.

"Udah Jen, ayo pergi!" desak Hanna sambil mencoba menarik tangan Jeno keras.

Hanna tidak bisa diam. Dia harus menghentikan Jeno sekarang. Dia hanya tidak ingin membuat Jeno terlibat karena masalahnya. Apalagi dengan Guanlin.

"Kamu duluan aja, ntar aku nyusul," tolak Jeno sambil melepaskan tangan Hanna pelan.

Hanna panik. Penuh harap ditatapnya Jeno lama. "Ga, pokoknya aku ga mau kamu ketemu Guanlin."

"Ada apa sih ni ribut-ribut? Kuping gue gatel dari tadi, kayak ada yang nyeritai."

Guanlin muncul dengan tangan yang terselip di saku. Pandangannya menyapu orang sekitar yang tampak saling berbisik saat menatapnya.

Dengan langkah besar Jeno mendatangi Guanlin dan langsung melemparkan pukulan keras ke wajahnya. Wajah Guanlin memerah, dia menyeka darah yang keluar dari bibirnya. Hanna yang panik langsung menuju kedua laki-laki yang tampak meluapkan emosi.

"Gila lo ya! Berani lo nyentuh muka orang ganteng?" bentak Guanlin kesal.

BUUUKKK!!!!

Pukulan keras juga mengenai wajah Jeno. Selanjutnya mereka sudah saling bertukar pukulan. Hanna hanya berteriak histeris melihat kejadian di depannya. Syukurkah saat itu Pak Minhyun datang dan langsung membawa mereka ke ruang BP.

"Ini gara-gara lo ya," kesal Yena sambil mendorong tubuh Hana kelas.

Hanna terdiam. Kali ini sepertinya dia membenarkan ucapan orang-orang ini. Apa memang dia sudah membuat Jeno dalam kesulitan juga?

"Lo liat, belum apa-apa kutukan lo udah kejadian kan sama pacar gue." Sakura juga menatap Hanna kesal. "Awas aja kalo sampe kegantengannya berkurang. Habis Lo," tambah Sakura sambil meninggalkan Hanna yang masih mematung.

Kejadian ini terulang lagi. Sama persis, saat dulu dia masih duduk di kelas 8. Di mana teman-temannya tahu kalau dia memiliki penyakit itu.

Mata Hanna berkaca-kaca. Dengan langkah malas
Dia memasuki kelas yang sunyi. Bukan karena tidak ada penghuninya. Namun, hanya tatapan tajam dan benci menyambutnya di kelas itu.

"Hanna! Mending lo keluar aja deh dari sekolah ini. Kita di sini juga ga mau kenapa-napa karena kutukan lo. Liat Jeno udah kena kutukan lo aja gue ga sangguuuuppp." Mina menangis sambil menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Semua melihat ke arah Hanna seolah membenarkan ucapan Mina barusan. Tubuh Hanna lagi-lagi bergetar. Dia meremas keras tangannya sendiri. Sungguh sangat menyakitkan ucapan itu keluar dari teman sekelasnya sendiri. Kenapa mereka tega?

"Hanna, maaf ya kayaknya kita___"

Dengan gerakan cepat Hanna mengambil barang-barangnya dan meninggalkan kelas itu. Berjalan dengan langkah cepat. Dia benci dengan kelas itu. Dia benci dengan sekolah itu. Dia tidak akan pernah mau menginjakkan kaki ke sekolah itu lagi. Kenapa mereka tega mempelakukan Hanna layaknya binatang yang menjijikkan.

Sesekali Hanna menyeka air matanya yang berhasil menerobos keluar. Hatinya benar-benar sangat sakit sekarang. Dan yang lebih sakit, dia tidak tahu harus pergi ke mana.

#

Hanna terduduk lemah menatap lekat dua pusara di depannya. Perlahan tangannya membelai satu-pesatu pusaran itu. Bibirnya terangkat sedikit, mengulaskan senyum manis.

Ada banyak kerinduan yang bergejolak di dadanya. Namun, semuanya sudah lebih ringan, walau hanya dengan duduk dan menatap dua pusara bisu itu.

"Ayah ... Ibu ... Aku dateng. Udah lama rasanya aku ga pernah dateng ke sini." Suara pelan Hanna memecah kesunyian. Tidak ada jawaban. Hanya suara embusan angin sekitar yang menjawab sapaanya di tempat sunyi ini. "Hari ini aku ketauan lagi. Aku ketauan sama temen-temen aku, Bu."

Hanna menarik napasnya dalam-dalam dengan kepala mendongak. Diembuskan napasnya kasar saat dadanya terasa semakin sesak.

"Kenapa belum ada yang mau terima keadaanku ya, Bu? Kenapa semua orang masih nganggep aku pembawa sial? Apa memang bener aku itu pembawa sial? Om Jae juga sering kesusahan karena aku. Semua orang juga. Mama, papa, juga kak Mark. Padahal aku juga ga mau kayak gini. Aku juga pengen kayak yang lainnya. Ga perlu tidur sampe lama-lama, jadi bisa ketemu temen sampe puas. Aku juga capek punya rahasia besar kayak gini, sampe harus takut-takut ketauan."

Hanna menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya. Sunyi. Angin mulai terasa menusuk kulitnya. Tubuhnya mulai terasa kedinginan. Gesekan ilalang mulai terdengar jelas memecah kesunyian.

"Bu, kenapa waktu itu aku ga kalian ajak aja? Sekarang aku jadi sendirian di sini. Seharusnya ...." Suara Hanna tidak lagi terdengar. Sekuat tanaga dia masih menahan tangisnya. "Maafin aku ayah ... Ibu. Aku nangis lagi. Aku ...."

Hanna menekan kuat lututnya. Berharap bisa menghentikan tangisnya. Seharusnya dia sudah lelah menangis semalam. Kenapa dia menangis lagi sekarang? Dan itu depan orang tuanya.

"Aku ... Aku ... Kang ... Kangen kalian ... Aku ...."

Tangis Hanna pecah.

Sekuat tenaga dia menahannya, tetap sia-sia. Dadanya sangat sesak, dia tidak sanggup menahannya lagi.

Tidak ada yang terdengar suara apapun selain tangis Hanna di sana. Suara ilalang akibat gesekan lembut angin sekitar bahkan menambah pilu tangisnya. Dia semakin terhanyut, mencoba melepaskan sesak yang menyiksanya sejak kemarin.

Jika saja ada yang mendengarnya, mungkin Hanna bisa menyembunyikan wajahnya dipelukan orang itu. Namun, tidak ada. Hanya ada pusara bisu, yang menemaninya sampai tangisnya berhenti.

Bukan Aurora ( Tamat )√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang