24. Pertandingan

148 45 52
                                    


Hanna memegang tangan Jeno menelusuri koridor sekolah. Jeno masih belum benar-benar pulih. Wajahnya pun masih pucat.

Namun siapa sangka itu membuat Jeno senang tidak karuan, bahkan matanya menghilang tidak berhenti tersenyum. Apa dia harus sering hujan-hujanan mulai sekarang?

"Lebay amat sih ni bedua. Udah kayak pasangan ter hot tahun ini aja."

Guanlin tiba-tiba muncul di depan Hanna dan Jeno. Matanya melirik tidak suka tangan Hanna yang masih bergeming pada lengan Jeno.

"Jangan dengerin," bisik Hanna pada Jeno pelan. Dilemparkan tatapan tajam pada Guanlin yang terlihat seperti biasa, angkuh.

"Budek, lo?" bentak Guanlin lagi.

Hanna menghela napas kasar sambil memejamkan mata. Sepertinya besok dia harus sarapan lebih banyak, sehingga tenaganya bisa cukup untuk menyambut pengganggu di depannya ini.

"Apaan sih ni tiang listrik rusak! Minggir!"

Hanna menepiskan tubuh besar Guanlin. Namun, bukan Guanlin namanya kalau semudah itu menuruti kemauan Hanna. Cepat-cepat laki-laki itu kembali menepis tubuhnya lebih kasar. Bahkan Hanna hampir tersungkur.

"Eeee, kepedean. Gue ada urusan sama ni anak. Bukan lo. Minggir!!"

Guanlin menepiskan tubuh Hanna dan mendekati Jeno. Hanna melotot lebar dan berdiri di tengah-tengah mereka yang sudah saling menatap tajam.

"Mau apa lo sama Jeno. Jangan macem-macem lo ya, Lin."

Hanna melebarkan tangannya seolah bisa melindungi tubuh besar Jeno dari Guanlin. Guanlin tersenyum tipis dan memiringkan kepala. Mata tajamnya menatap Hanna lama, kemudian menundukkan tubuh. Hanna jadi panik dan sedikit menunduk.

"Lo sengaja, kan kayak gini? Gerak dikit aja lo udah kena cium ni," ujar Guanlin setengah berbisik. Gadis di depannya terlihat bergetar. Melihat itu dengan kasar Jeno mendorong tubuh Guanlin.

"Ada urusan apa emang?"

Jeno menghadap Guanlin dengan tatapan sangar. Sedikitpun tidak ada keramahan pada sorot matanya.

"Banyak! Tapi gue mau kita ngomong bedua."

Hanna menoleh ke arah Jeno dan menggeleng. Namun, laki-laki itu hanya mengulumkan senyum manis. Seakan memberitahunya, tidak apa-apa.

"Kalo aku ga mau?" pungkas Jeno lagi.

"Ya, terserah lo." Guanlin megalihkan tatapannya ke arah Hanna dan tersenyum sinis.

"Hanna, kamu ke kelas duluan aja, ya. Aku mau ngomong bentar sama dia," ujar Jeno sambil tersenyum. Dari tatapan Guanlin, dia paham ancaman sedang ditujukan pada Hanna jika dia tidak menurutinya.

"Jangan, Jen!!" Hanna menggeleng keras. Dia tahu ada yang tidak beres dengan pertemuan mereka. Bisa-bisa Guanlin mencelakai Jeno. Belum lagi Jeno masih kurang sehat.

"Udah ga pa-pa. Kamu duluan aja, ya." Jeno memegang kepala Hanna lembut sambil tersenyum lebar. Entahlah, ucapan lembut Jeno benar-benar penuh keyakinan. Mau tidak mau membuatnya memercayainya. Akhirnya Hanna mengangguk pasrah.

"Duh, apaan sih ni curut bedua. Geli gue liatnya." Guanlin berlalu meninggalkan pemandangan yang membuatnya ingin muntah. Sejak kapak mereka seakrab itu?

"Guanlin. Awas ya kalo sampe Jeno kenapa-napa." Hanna berterik keras ke arah Guanlin. Laki-laki itu bahkan tidak menoleh.

"Berisik lo, morse!!" gerutu Guanlin tanpa melihat Hanna dan berlalu.

##

Guanlin memasukkan tangan ke sakunya. Ditatapnya tajam wajah Jeno yang terlihat pucat. Apa laki-laki ini sakit? Namun, siapa yang peduli.

Bukan Aurora ( Tamat )√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang