41. I say i love you?

156 37 35
                                        


Hanna mengentak-entakkan kakinya keras. Ingin rasanya dia berteriak keras dan mengeluarkan semua uneg-unegnya saat ini. Sejak tadi dadanya terasa sesak. Apa karena dia menahan tangisnya sejak tadi. Atau ada hal lain yang memang dia tahan sejak kemarin. Namun, Jaehyun sudah pergi.

"Hanna, kamu udah denger kabar?"

Hanna terkejut saat melihat Jeno yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Laki-laki itu tampak sedang tergesa-gesa.

"Soal apa?" tanya Hanna juga tak kalah gugup.

"Soal om Jae."

DRRRRTTTT!!!

Handphone Hanna bergetar.

"Tunggu sebentar."

Terlihat nama "Om Yuta" di layar Handphonen-nya. Hanna menaikkan alisnya bingung kemudian menatap ke arah Jeno. Laki-laki itu mengsyaratkan untuk mengangkatnya.

"Halo! Kenapa, Om?"

"Hanna, saya tidak bisskkkkckkkckak ....."

Hanna menjauhkan sedikit Handphone-nya. Keningnya mengernyit.

"Halo! Apaan sih om ga denger," ucapnya kesal.

"Om Jae ... cjkakhdkkkakk ..... kecelakaaann .... ccssjjdlkkfkka makanyacabdgkskskkjhhkks ...."

Mata Hanna terbelalak lebar sambil menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. Wajahnya berubah panik.

"HAH? KECELAKAAN?" teriak Hanna dengan suara bergetar.

".... di rumah sakit," sambung Yuta dari sana. Kali ini suaranya sudah terdengar jelas.

Tubuh Hanna bergetar hebat. Jantungnya juga berdetak lebih cepat. Seketika wajahnya memucat.

"Om, kirimin alamat rumah sakitnya sekarang!" ucap Hanna sambil berlari meninggalkan Jeno yang terpaku.

"Hanna! kamu mau ke mana?" teriak Jeno dengan suara keras. Hanna hanya  berlalu tanpa menoleh.

.
.
.

Sepanjang jalan Hanna menangis histeris. Syukurnya ada taxi yang cepat datang, hingga dia bisa langsung menuju alamat yang dikirim Yuta.

Kenapa? Apa dia akan kehilangan orang untuk yang kesekian kalinya? Kenapa harus sekarang? Tidak akan. Jangan. Batinnya menjerit. Apa dia memang pembawa sial? Kenapa semua orang yang ada disekelilingnya selalu dalam kesulitan.

"PAK! BISA CEPETAN DIKIT GA SIH? AKU LAGI BURU-BURU NIH. BISA NYETIR GA SIH? DARI TADI KOK GA NYAMPE-NYAMPE. KESEL DEH!" cerocos Hanna dengan suara nyaring.

"Emang rumah sakitnya agak jauh, Non. Sabar ya. Suaranya tolong dikondisikan, Non," ujar sang supir taxi dengan nada setenang mungkin. Sesekali tangannya sibuk memegang telinganya.

"SABAR GIMANA? EMANG BAPAK MAU TANGGUNG JAWAB KALO ADA APA-APA NANTINYA? GA KAN? ENAK AJA BILANG SABAR. CEPETAN DONG PAK!!!" bentak Hanna lagi. Kali ini Hanna meninggikan nada suaranya lagi.

Supir itu hanya menghela napas berat. Menggeleng keras pria itu memegang dadanya sendiri.

"Memang siapa yang sakit, Non?" tanya supir itu lagi.

"KEPO AMAT SIH, PAK. UDAH CEPETAN DONG! BAPAK SUPIR ATAU REPORTER SIH? KEBANYAKAN NANYA, JADINYA GA NYAMPE-NYAMPE KAN! CEPETAN DONG PAK! ATAU BAPAK MAU CULIK AKU YA?" omel Hanna lagi.

"Duh, ga baik nyetir kenceng-kenceng, Non. Bahaya, saya juga kan bawa penumpang. Nanti kalo ada apa-apa saya juga yang salah," sahut sang supir masih mencoba menahan emosinya.

Bukan Aurora ( Tamat )√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang