Hanna menatap tanpa berkedip seseorang di depannya. Dengan cepat dia berlari menuju wanita anggun yang sedang tersenyum manis menyambutnya.
Disentuhnya tangan wanita itu. Ini nyata. Terasa hangat dan lembut. Hanna mencium dan meletakkan tangan wanita itu di pipinya. Dengan tangan satu lagi wanita itu membelai pipinya pelan.
Hanna tidak dapat menahan diri. Hingga tangisnya pun pecah. "Ibu, aku kangen ...." isak Hanna dengan suara terbata-bata.
Wanita itu memeluknya erat. Dibenamkannya wajah Hanna di dalam pelukkannya. Dia semakin menangis histeris. Ada banyak, bahkan bertonton sesak di dada yang coba dia pendam selama ini. Kerinduan pada wanita ini. Penyesalan dan rasa bersalah mungkin menjadi pemicunya juga. Apalagi saat rumor-rumor itu kembali hadir. Tangis Hanna semakin keras, saat tangan hangat ibunya membelai kepalanya lembut.
"Kamu pasti kangen sama ibu ya? Hmmmm. Putri kecil ibu rupanya belum dewasa," olok ibunya sambil menepuk-nepuk pelan pundak Hanna. Penuh sayang. Seakan sedang menenangkan bayi agar terlelap nyaman.
"Berarti sama ayah enggak?"
Suara besar dari arah lain membuat Hanna menghentikan tangis. Suara besar yang sangat dia rindukan. Ayahnya. Seseorang yang beberapa hari ini sangat ingin dia jadikan tempat bersembunyi. Seseorang yang dia anggap paling bisa diandalkan dalam hidupnya.
Hanna menatap tubuh besar yang sudah merentangkan tangannya sambil tersenyum lebar.
"Ayah!" Hanna melepaskan pelukan ibunya dan menubruk tubuh besar ayahnya. "Ayah, aku kangen ayah juga. Ayaaahhhhh, aku takut, Yah. Aku takut ....."
Hanna memeluk erat ayahnya. Sangat nyaman dan menenangkan. Seperti inilah pelukan ayahnya? Dia sudah lupa. Tentu saja, itu karena ayahnya memang sudah terlalu lama pergi dan menghilang dari hidupnya.
Tubuh Hanna terbenam dalam pelukan pria besar yang tidak berhenti menepuk-nepuk pundaknya pelan. Hangat dan nyaman, itulah yang dia rasakan saat ini. Dia baru menyadari kalau beberapa hari ini dia memang sangat kedinginan dan sendirian.
Hanna mengeratkan pelukan di tubuh ayahnya. Pipinya masih basah. Air matanya terus mengalir. Tidak, dia tidak akan pernah melepaskannya. Tidak akan pernah.
"Pasti sulit sekali ya, Sayang. Hmmmm," gumam ayahnya lembut. Perlahan pria itu melepaskan pelukan putrinya dan memangkunya. Mencoba menatap wajah putrinya yang masih menangis, berharap bisa mengentikan tangisnya. Dengan tangan besarnya pria itu menyapu sisa air mata Hanna dengan lembut. "Astaga, Putri ayah sudah besar kok masih cengeng. Hmmmm? Jelek ih kalau nangis begini."
Hanna semakin mengeraskan tangisnya kemudian kembali membenamkan wajahnya dipelukkan ayahnya lagi. "Aku kangen ayah. Kangen. Aku kangen ayah. Aku takut sama mereka. Mereka jahat. Mereka semua jahat. Aku benci sama mereka, Yah."
"Hanna, udah, udah. Udah ya." Ibunya menepuk-nepuk pundak Hanna pelan. Sedikit Hanna mulai tenang. Namun, air matanya masih saja belum berhenti.
"Kamu harus kuat sayang. Ga boleh cengeng begini. Coba lihat dulu ibu. Sini." Ibu Hanna menarik wajah Hanna yang masih terbenam di pelukan ayahnya. Kepala Hanna terangkah menatap wajah ibunya dengan mata basah.
"Masih ada kok yang sayang sama kamu. Ada mama Sohyun, ada kak Mark juga ada suami kamu. Terus___"
Hanna menggeleng keras. Lagi-lagi air matanya mengalir. "Aku ga mau nyusahin mereka lagi, Bu. Mereka memang sayang sama aku tapi aku ga mau terusan nyusahin mereka."
"Hanna ... Ga boleh ngomong gitu. Mereka itu jaga kamu bukan berarti kamu nyusahin mereka. Itu karena mereka sayang sama kamu. Hmmmm," ucap ayahnya lagi sambil memegang pipi Hanna lembut. Mengusapnya pelan sesekali agar bisa menghapus jejak air mata putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Aurora ( Tamat )√
Fiksi Penggemar"Woi, Princess aurora!! Ngapain lo di sini sendirian." "Heh, tiang listrik karatan. GUE BUKAN PRINCESS AURORA, BEGO!!! KESEL GUE TIAP KALI LO MANGGIL GUE ITU," Hanna. ## "Om, aku mau nikah sekarang!" Hanna. BRUAKKK!!