Hanna terduduk di depan sebuah ruangan. Lututnya sudah mati rasa. Entah sudah berapa jam dia dalam posisi yang sama. Meringkuk sambil memeluk lututnya sendiri. Air matanya masih mengalir. Tidak ada suara isak tangis yang keluar dari mulutnya, hanya air mata yang terus mengalir di pipinya.
“Ayah, Ibu, aku kangen,” lirih Hanna dalam hati. “Kenapa aku belum ketemu kalian juga? Aku kangen, kalian.”
Dadanya terasa sesak. Ingin membebaskan tangis yang terbenam di dalam sana.
“Hanna!” Sebuah suara mengejutkan Hanna yang meringkuk. Perlahan dia mendongak. Didapatinya sesosok pria berjas putih tersenyum manis ke arahnya. Papa Guanlin.
“Pa!”
Hanna bangkit dari jongkoknya sembari menghapus sisa air matanya cepat. Mencoba tersenyum manis saat menatap pria berkaca mata di depannya. Hingga tanpa banyak bertanya pria paruh baya itu pun langsung membawanya ke dalam ruangan.
Hanna menyesap susu di tangannya yang tinggal setengah. Setelah habis, dia meletakkan kotak ke empat di sampingnya kemudian merebahkan pundak di sandaran kursi.
“Kamu masih mau lagi? Biar papa suruh suster ambil,” tawar papa Guanlin dengan suara lembut.
“Udah Pa, aku udah kenyang. Makasih banyak ya, Pa. Aku kelaperan. Soalnya aku tidur lagi.”
Hanna menghela napas kesal. Kepalanya tertunduk dengan wajah cemberut.
“Itu bagus, sayang, biar kamu tambah tinggi,” pungkas papa Guanlin dengan nada lebih lembut dari sebelumnya. Ditatapnya lamat-lamat wajah gadis yang tampak pucat di depannya. Terbesit rasa kasihan. Hanna sudah seperti anaknya sendiri. Tidak tahu, baik dia maupun istrinya sangat menyayangi Hanna. Gadis yang selalu ceria, tapi terlihat ingin dilindungi. Walau pun hubungan Guanlin dan Hanna sudah berakhir sekali pun rasa sayang mereka tidak berubah.
“Enggak juga. Buktinya aku ga tinggi-tinggi, kok. Dari dulu aku setinggi ini terus.”
Hanna mengerucutkan bibirnya. Disambut kekehan papa Guanlin.
“Kamu sudah makin tinggi, kok. Kamu lupa ya, dulu kamu itu sepinggang Papa. Dan sekarang kamu udah hampir sebahu papa.”
“Iya sih. Tapi dulu aku sama Guanlin hampir sama tingginya. Sekarang, eh ....” Ucapan Hanna terhenti seketika. Dia tidak menyadari dengan siapa sedang berbicara sekarang.
“Kamu sudah putus ya sama Guanlin?” tanya papa sambil menatap Hanna yang tiba-tiba diam.
“I-iya Pa. Habisnya Guanlin ngebosinin, sih. Tapi dia udah punya pacar baru, namanya Sakura. Memang sih lebih cantik dari aku, lebih tinggi dan pinter juga. Kalo menurut papa aku cantik gak sih?”
Lagi-lagi Papa Guanlin terkekeh renyah. Gadis yang pandai berbohong. Sambil memegang kepala Hanna pelan dia menatap lekat matanya.“Kamu cantik, kok. Cantiiikkkk sekali. Apalagi kalo pas lagi senyum.”
Hanna tersenyum malu, pipinya juga memanas. Menutup rasa malunya dia pun memegang pipinya sendiri.
“Papa udah pernah ketemu ga sama Sakura? Kalo menurut aku sih ga terlalu cantik. Aku mau sih nujukin fotonya sama Papa. Tapi semua fotonya editan semua. Aku aja ga kenal pas pertama kali liat fotonya. Ih, malu-maluin kan, Pa. Sebel. Emang papa mau punya menantu yang cantiknya cuma di foto doang.”
Hanna mencibir dengan raut tidak suka. Tangannya terlipat di dada dengan posisi duduk dibuat agar terlihat anggun.
“Anda sudah datang,” sapa papa Guanlin saat menoleh ke arah pintu.
Hanna mengikuti arah tatapan papa Guanlin. Seketika dia terkejut mendapati seseorang bertubuh tinggi dan tampan sedang menatapnya panik. Belum selesai dengan rasa terkejut pria itu langsung memeluknya kasar. Bahkan dia hampir terjatuh kalau tidak ditahan oleh tangan orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Aurora ( Tamat )√
Fanfiction"Woi, Princess aurora!! Ngapain lo di sini sendirian." "Heh, tiang listrik karatan. GUE BUKAN PRINCESS AURORA, BEGO!!! KESEL GUE TIAP KALI LO MANGGIL GUE ITU," Hanna. ## "Om, aku mau nikah sekarang!" Hanna. BRUAKKK!!