Hananta 2

226 15 2
                                    

Jangan lupa votenya ya pembaca yang budiman🥰

***

Setelah memastikan pakaiannya kembali rapi, Hana keluar dari kamar mandi dengan seraham Rio yang melekat di tubuhnya.

"Sudah?"

Hana menoleh ketika mendapati Rio berdiri di dekat pintu kamar mandi. Ia mengangguk kecil dan tersenyum. "Makasih ya seragamnya. Ya walaupun agak kegedean sih." Gadis itu terkekeh kecil di akhir kalimatnya, namun segera diam ketika Rio tidak memberikan respon apapun.

Ini orang nggak berwarna banget hidupnya. Keras kayak tembok. Pake semen apa sih? Gerutu Hana di dalam hati karena merasa dongkol sendiri dengan sifat cowok di sampingnya itu.

Sebenarnya, tanpa Hana sadari Rio tadi tersenyum. Hanya singkat. Senyumnya yang sangat singkat itu tidak terlihat bahkan oleh orang yang ada di dekatnya saat itu.

Bel masuk berbunyi, memecah kecanggungan yang hadir di antara mereka. Rio pergi tanpa repot-repot mengajak Hana terlebih dahulu, meninggalkan gadis itu dengan perasaan dongkol yang bertambah.

"Ada ya cowok dingin kayak gitu? Ya ada, itu di depan lo, Han! Nggak basa-basi dulu atau apa gitu." Tangannya bahkan sudah mengepal karena saking gemasnya—atau kesal—dengan pria yang sudah menjauh beberapa meter di depannya.

Tidak mau terlambat masuk ke kelas, Hana pun segera menyusul Rio danmenyusuri koridor kelas sebelas. Beberapa ada yang menyapanya, entah teman organisasi maupun teman sekelasnya dulu dan ia balas dengan ramah juga.

Saat melewati kelas MIPA 5, dirinya disambut teriakan oleh Via. Gadis itu berlari keluar dan menghampirinya, yang kebetulan belum ada guru masuk. "Hana! Lo nggak diapa-apain sama kembarannya cowok kurang ajar tadi, kan?" Tangan Via memutar tubuh Hana untuk memastikan bahwa sahabatnya ini baik-baik saja.

Hana terkekeh kecil dan menggelengkan kepalanya. "Enggak kok. Gue aman."

Via menjentikkan jarinya, seakan teringat sesuatu. Gadis berambut cokelat itu memegang kedua lengan Hana. "Si Rian, cowok kurang ajar itu, ternyata kelas XI MIPA 4, kelasnya di samping kelas gue persis," jelas Via dengan nada menggebu-gebu dan dahi yang berkerut.

Hana mengernyit, bingung dengan maksud Via melaporkan kelas Rian, yang baginya sangat tidak penting. "Terus kenapa? Hubungannya sama gue apa?"

Sahabatnya itu tersenyum lebar, membuat matanya yang sudah sipit, semakin sipit saja. "Kalo lo mau bales dendam sama dia, dengan senang hati sahabat lo yang baik, pintar, suka menolong ini akan membantu lo." Via mengibaskan rambutnya seperti model iklan shampoo.

Hana mengangguk kecil. "Nggak usahlah bales dendam gitu. Lagian gue juga udah oke-oke aja." Ia menepuk pelan bahu Via.

Bukannya senang, Via malah mengerucutkan bibirnya sebal. "Lo mah gitu. Padahal gue tadi udah ngerencanain apa aja yang mau gue lakuin."

Hal tersebut mengundang gelak tawa Hana, "Nggak usah. Ya udah ya, gue mau balik kelas dulu."

Gadis yang sama tinggi dengannya itu mengangguk dan melambaikan tangannya.

Sesampainya di kelas, Hana dikejutkan oleh keadaan kelas yang begitu gaduh. Ia melihat Bunga sedang beradu mulut dengan Mika di tempat duduk yang mulai hari ini ia tempati.

"Cewek culun kayak lo tuh nggak pantes sekolah di sini!" bentak Bunga tepat di depan wajah Mika.

Bukannya takut, Mika malah berkacak pinggang dan membalas perkataan Bunga, "Kepala sekolah aja nggak ngelarang kok Mika sekolah di sini. Kok kamu malah sewot nggak jelas gitu? Emang kamu yang punya sekolah? Enggak kan?"

Bunga mendelik tajam mendengar balasan Mika. "Keluarga gue donatur terbesar di sekolah ini!"

Lagi, Mika membalas dengan mudahnya. "Orang tua kamu, bukan kamu! Emang orang tua kamu satu-satunya donatur di sini?"

Hana tidak tahan dengan adu mulut yang mungkin jika dibiarkan akan semakin besar masalahnya dan menghampiri dua orang tersebut. Bahkan, teman-teman yang lainnya pun tidak ada yang mau melerai perdebatan mereka. Sebenarnya Bunga ini kenapa sih? Apa dia tidak akan tenang jika belum mengganggu orang di sekitarnya?

"Mik, kenapa sih?" Ia menghampiri Mika dan berdiri di sebelah gadis itu, menahan lengannya yang sudah bersiap immeraih Bunga.

Sedangkan gadis berambut pirang—bukan asli—melipat tangannya di depan dada, mengangkat dagunya tinggi, dan tersenyum meremehkan.

"Nggak tau nih. Nenek lampir depan aku sewot sendiri. Padahal aku daritadi diem aja," gerutu Mika kesal sembari membenarkan letak kacamatanya.

"Cocok deh. Yang satu miskin, yang satu culun. Pas banget kalo jadi sahabat." Bunga terkekeh dan melirik sinis ke arah sepasang sahabat di depannya.

Lihat? Mereka tidak melakukan apapun, Bunga dengan senang hati mengatai mereka.

Hana berdeham. "Maaf, gue rasa percuma lo sekolah tinggi, di sekolah elit pula, tapi mulut lo tidak jauh dari orang yang tidak berpendidikan," jawab Hana dengan nada dingin dan tatapan datarnya. Sungguh, dia muak dengan tingkah laku Bunga yang seenaknya dan sok berkuasa.

Perkataan Hana sukses membuat Bunga membulatkan matanya. Ia mengangkat tangannya dan bersiap untuk menampar Hana yang tidak takut sama sekali. Namun, saat akan mencapai pipi gadis di depannya itu, tangannya terhenti di udara. Merasakan sebuah tangan besar mencengkeram tangannya dengan kuat dan membuat dirinya kesakitan.

Mika dan Hana menoleh bersamaan. Begitu juga Bunga dengan tatapan tidak percaya

"Rio?" cicitnya dengan tangan yang meronta minta dilepaskan, yang sayangnya justru semakin menguat dan ia meringis kecil.

"Minta maaf," kata Rio dengan nada rendah dan serasa mengintimidasi. "Minta maaf," ulangnya sekali lagi ketika Bunga hanya diam.

Bukannya minta maaf seperti yang dikatakan cowok itu barusan, Bunga terus meronta dan pergi meninggalkan mereka bertiga ketika tangannya berhasil bebas.

Rio sudah daritadi berada di kelas. Ia juga tahu persis sewaktu perdebatan itu terjadi. Bukannya tidak mau melerai, ia terlalu malas mengurusi kehidupan orang lain. Sampai akhirnya, ia melihat Bunga akan menampar Hana, cowok itu langsung bertindak. Ia paling tidak suka jika melihat ada perempuan yang diperlakukan secara kasar baik oleh laki-laki atau perempuan. Belum lagi, kata-kata yang diucapkan Bunga ke dua orang tersebut sangatlah tidak pantas.

"Makasih," ucap Hana dan tersenyum pada Rio setelah melihat Bunga pergi dari hadapan mereka. "lagi," lanjutnya karena sudah dua kali dalam satu hari ini cowok itu menolongnya.

Rio mengangguk dan langsung pergi, tidak mau bertanya atau berbasa-basi terlebih dahulu.

"Ya ampun, jutek banget sih," ucap Mika dengan mata yang mengikuti arah langkah Rio.

Hana memutar bola matanya dan memilih duduk di bangku. Setidaknya ia ingin menenangkan pikiran terlebih dahulu, dengan mendengarkan musik misalnya.

***

25 Juni 2019

Revisi: 30 Januri 2022

Hananta ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang