Hananta 36

49 8 0
                                    

Jangan lupa vote🌟

***

Rio melangkahkan kakinya di koridor panjang ini. Emosinya memuncak mengingat perkataan kepala sekolahnya tadi.

"Pak, saya kemari ingin melaporkan perlakuan Bunga yang sudah termasuk bullying di sekolah ini."

Pria berumur setengah abad itu nampak melepas kacamatanya. Ia menatap Rio sembari menghela napas. "Saya tahu perbuatannya hari ini. Tapi saya tidak bisa bertindak lanjut jika berhubungan dengan Bunga."

Rio mengernyit. "Apa karena ayahnya adalah donatur terbesar di sekolah ini?"

"Bukan." Pria dewasa itu menggeleng singkat dan membuat Rio semakin bingung. "Tapi karena Pak Indra."

"Indra? Indra, ayah saya?"

Cowok berhoodie itu dibuat terkejut karena pria di depannya mengangguk. "Pak Indra meminta saya untuk tidak menghukum atau memberi sanksi kepada Bunga tanpa persetujuannya. Jika tidak, ia dan ayah Bunga akan berhenti menjadi donatur."

Rio terkekeh tidak percaya. "Pak, tapi di sini Bunga bersalah. Seharusnya Bapak bisa membela murid yang dirugikan dong, Pak. Apalagi Bapak adalah kepala sekolah."

Pak Candra, kepala sekolah tersebut, kembali menghela napas. "Sayangnya, hal tersebut sudah ada di perjanjian. Jadi, bukan hanya berhenti menjadi donatur, tapi sekolah ini juga dapat dituntut jika melanggar perjanjian tersebut."

Rio mengepalkan tangannya kuat. Sepertinya, hati seorang Indra Dirgantara sudah menjadi batu.

Tidak lama setelah itu, ia keluar dan di sinilah ia sekarang, di kantor ayahnya. Ia nekat pergi menggunakan taksi sendirian tanpa memberitahu Rian ataupun lainnya. Biarlah ini menjadi urusannya.

Ia mengetuk kasar pintu jati di depannya. Setelah mendengar jawaban dari sang empunya ruangan, ia masuk dan tanpa basi-basi mengeluarkan semua uneg-unegnya.

"Pa, apa maksud papa yang berusaha melindungi Bunga di sekolah? Hari ini Bunga berulah dan melakukan bullying ke Hana. Tapi semua itu jadi nggak berarti di mata kepala sekolah hanya karena perjanjian yang Papa buat."

Indra dengan santai menyandarkan tubuhnya di kursi kebanggaannya. "Jadi nama gadis itu Hana?" Indra mengangkat bahunya kecil. "Papa sendiri yang meminta Bunga melakukan apa pun agar kalian bisa menjalin sebuah hubungan. Dan mungkin, itu salah satu caranya."

Rio mengangkat salah satu alisnya dan terkekeh sinis. "Aku nggak nyangka Papa bisa berpikir sepicik itu. Sampai kapan, Pa?"

"Sampai kamu menerima perjodohan itu. Dan tentunya sampai perusahaan papa dan Om Thomas bersatu," jawab Indra enteng.

"Papa mau ngorbanin Rio demi bisnis Papa sendiri?"

"Hei, hei. Siapa yang ngorbanin kamu? Suatu saat nanti kamu juga yang akan meneruskan perusahaan ini dan pastinya akan lebih mudah jika perusahaan berkembang dengan cepat karena kerja sama ini."

Cowok itu menyugar rambut dan matanya menatap dinding di belakang ayahnya. Ia kembali menatap datar Indra. "Rio nggak butuh perusahaan Papa."

Setelahnya, ia berbalik tanpa mendengar tanggapan ayahnya lagi. Ketika tangannya menyentuk gagang pintu, Indra berkata, "Sekarang korbannya bukan kamu, tetapi gadis yang bernama Hana."

Rio mendengarnya, sangat jelas. Tapi ia berusaha untuk tidak terganggu dan meninggalkan ruangan ayahnya. Namun, jujur saja, kalimat tersebut berhasil meracuni pikirannya.

Ponselnya berdering ketika dirinya sampai di lobi. "Halo."

"Lo dimana sekarang?" tanya sang penelpon setelah teleponnya tersambung.

Hananta ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang