Hananta 7

135 12 0
                                    

Rio berjalan cepat di sebuah koridor rumah sakit. Rasa panik dan marah tidak dapat ia bendung walaupun tertutup oleh mimik wajahnya yang terlihat tenang. Matanya mencari ruangan yang tadi disebutkan saat ia bertanya di bagian resepsionis.

Hana di sebelahnya berusaha mengikuti dengan sedikit berlari. Hana memaksa untuk ikut setelah melihat kemarahan di mata cowok itu. Ia ingat betul bagaimana Rio menutup panggilan dengan mata yang memerah dan tangan menggenggam erat ponselnya. Ia tidak mau jika Rio lepas kendali yang malah akan membahayakan cowok itu sendiri.

Rio berhenti di depan pintu yang ia cari sedari tadi. Terdengar perdebatan kecil dari dalam kamar rumah sakit itu.

"Sus, biarin saya pulang."

"Maaf, Mas. Tidak bisa."

"Kenapa? Administrasi akan saya bayar. Tidak perlu takut saya akan kabur."

"Harus ada pemeriksaan lanjut untuk kaki Mas. Tapi kami tidak bisa melanjutkan jika tidak ada keluarga yang memberikan izin," jelas seorang perawat di dalam sana.

"Ya sudah. Tidak ada keluarga saya. Tidak perlu menunggu. Paling kaki saya cuma bengkak."

"Tapi, Mas—"

Rio membuka pintu tersebut dan perdebatan kecil yang sempat terjadi langsung berhenti.

"Maaf. Anda siapa? Apakah keluarga dari Saudara Rian?" tanya perawat itu.

Rio mendengus pelan mendengar pertanyaan perawat di depannya. Apa ia tidak lihat jika wajahnya mirip dengan Rian?

"Saya kembarannya. Lakukan pemeriksaan yang harus dilakukan. Saya yang akan mengurus administrasinya," ucap Rio to the point. Perawat itu langsung mengangguk dan keluar dari ruangan untuk memanggil dokter.

Rian terkekeh sinis. "Nggak usah sok peduli lo."

Rio mengusap wajahnya dengan satu tangan. Kesal sendiri dengan kembarannya. Untung kembaran, kalau tidak, mau Rian mati juga dia tidak peduli.

Suasana awkward memenuhi ruangan itu. Hana yang bukan siapa-siapa jadi menyesal sempat memaksa ikut dengan Rio.

"Terserah," ucap Rio singkat dan berbalik untuk keluar dari ruangan itu. Saat akan melintasi Hana, cowok itu segera berkata, "Saya akan urus administrasi. Kamu di sini aja. Nanti saya akan kembali lagi." Mau tidak mau Hana mengangguk. Padahal, ia akan lebih memilih ikut bersama Rio daripada harus berada satu ruangan dengan cowok dingin dan menyebalkan di depannya itu.

"Apa lo liat-liat?" sentak Rian yang jelas membuat Hana melongo.

"Siapa yang ngeliatin elo? Ge-er banget sih jadi orang," balas Hana dengan tangan ia lipat di depan dada.

"Dasar cewek bar-bar," ujar Rian dan langsung mengalihkan pandangan serta memejamkan matanya.

Kali ini Hana benar-benar kesal. Padahal masih bar-bar Via daripada dirinya, 'kan? Mendengus pelan, ia memilih untuk duduk di sofa dan memainkan ponselnya.

Lima menit diliputi keheningan serasa lima tahun bagi Hana. Bosan. Dia pun hanya scroll feeds dan search Instagram.

Sampai kemudian, suara Rian memecah keheningan di antara mereka. "Bar."

Hana mengernyit dengan posisi masih menatap ponselnya. Dia ngomong sama siapa? Tapi di sini 'kan cuma ada gue. Nglindur? Atau jangan-jangan indigo?

Rian berdecak. "Bar! Budeg apa ya?" gerutu Rian entah dengan siapa.

Kali ini Hana menggerakkan kepalanya menghadap Rian. Cowok itu jelas sedang menatapnya dengan tatapan kesal.

Hananta ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang