//dewasa.//
Aku percaya bahwa takdirku sudah tertulis.
Rapi dan tersusun dengan baik.
Tapi, tetap saja aku benci dengan teka-teki.
Selalu menebak menjadi seperti apa aku selanjutnya.
Bagaimana hidupku berjalan.
Apakah seperti yang kumau?
Atau bahkan sebaliknya?
Namun, jika aku diberi kesempatan untuk melihat masa depanku,
apakah aku juga sanggup?
Menerima kenyataan yg sebenarnya aku mau atau tidak.
'Apa maumu?'
Itu suara logikaku.
'Aku juga tidak tahu,' jawabku.
Yang aku tahu,
waktu tak akan berjalan mundur.
Apalagi dipaksa berhenti.
Kehidupan akan terus berjalan,
suka atau tidak.
Jujur, aku benci untuk beranjak dewasa.***
Hana menutup bukunya. Buku yang selalu ia isi dengan puisi-puisinya. Ya, Hana membenci dirinya beranjak dewasa. Ketika banyak masalah menghampiri, yang ia lakukan hanyalah kuat.
Hana ingat Rio. Ia dapat merasakan rasa sakit yang hadir bersama cowok itu. Mungkin masalah mereka berbeda. Rasa sakit yang mereka terima juga berbeda. Yang Hana tahu, mereka juga sama-sama manusia. Bisa merasakan sedih dan senang.
Apa Rian juga ngerasain apa yang dirasain Rio?
Lamunan Hana terpecah ketika ada nomor yang tidak dikenal menelponnya.
"Halo. Maaf ini siapa, ya?"
"Astaga, Bar. Lo nggak ngesave nomer telpon gue?"
Oh, Rian.
"Belum. Nanti gue save. Kenapa telpon gue?"
"Kok lo nggak dateng ke acara gue sih?"
"'Kan tadi gue udah bilang ada acara?"
"Acara apa sih? Penting banget, ya?" tanya Rian memaksa.
"Ya ada lah."
"Ya udah, besok pulang sekolah sama gue. Harus mau!" Panggilan terputus setelahnya, tanpa mendengarkan jawaban Hana.
Hana menganga sembari menatap layar ponselnya yang sudah mati. "Gila ya tuh orang? Sinting. Nggak punya sopan santun. Masih mending kelakuan kakaknya."
Hana menaruh ponselnya dengan sedikit dibanting. Ia beranjak ke kasurnya untuk tidur. Ia butuh tenaga lebih yang sepertinya sangat diperlukan untuk besok.
***
Hana melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah. Suasana sudah cukup ramai karena kurang dari lima belas menit lagi bel masuk akan segera berbunyi.
Ketika memasuki lobi, Hana mendengar seseorang memanggilnya. Dari arah kiri, Rian berlari menghampirinya.
"Hai, Bar." Rian tersenyum ketika sampai di depan Hana.
Hana memutar bola matanya melihat tingkah laku cowok aneh di depannya. "Now, what?"
Rian menggeleng dengan senyum bertengger di wajahnya. "Cuma mau ngingetin soal tadi malem. Lo mau 'kan?"
Hana mendengus, "Walaupun gue nolak, lo tetep maksa gue buat ikut sama lo."
Cengiran Rian bertambah lebar. "Ya udah. Gue duluan ya."
Hana mengangguk dan mengikuti arah Rian pergi. Ia masih tidak tahu, mengapa sikap Rian berbeda dengan pada saat mereka bertemu. Padahal, hingga detik ini masih dapat dihitung berapa kali ia mengobrol dengan Rian. Jika Rian semudah itu, apakah Rio juga? Mengapa dirinya malah memikirkan Rio?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...