Rio melangkahkan kakinya ke lantai dua butik ini. Resepsionis yang ia jumpai mengatakan bahwa ayahnya telah datang sekitar satu jam yang lalu. Ia mengedarkan pandangan mencari ayahnya di lantai yang cukup luas dan ramai ini.
Ada seseorang yang memanggil namanya dan buru-buru mencari sumber suara tersebut. Risa Wijaya! Untuk pertama kalinya ia dipanggil oleh perempuan itu dan segera mendatanginya.
Risa tampak tersenyum menyambut dirinya. Sebenarnya Rio bingung harus menyalami wanita itu atau tidak. Namun, ia memutuskan tidak. Biar nggak ngefly, batinnya.
"Kamu coba beberapa tuxedo yang sudah tante siapkan ya. Ini ada empat warna sudah disesuaikan dengan tema. Kamu pilih dua untuk pemberkatan dan resepsi. Kamu pilihkan juga buat Rian ya." Rio hanya mengangguk singkat dan Risa meninggalkan dirinya setelah mendapat jawaban.
Rio berpikir keras untuk memilih tuxedo mana yang akan ia pakai. Putih, hitam, abu-abu, dan navy.
Ia memilih cepat tuxedo berwarna abu-abu dan navy, sama dengan Rian juga. "Entar gue pake yang putih atau item bisa dikira gue yang nikah," gumam Rio.
Ia cepat-cepat mencoba beberapa tuxedo tersebut, mencari yang pas. Setelah selesai, ia langsung menyampaikan ke salah satu pegawai yang ada di sana dan langsung mengangguk mengiyakan.
Rio menjatuhkan dirinya di sofa. Mengeluarkan ponsel dan mulai membuka feeds instagram. Sebenarnya ia ingin langsung pulang, tapi ia baru ingat bahwa ia harus berbicara dulu dengan ayahnya, mengharuskan dirinya untuk menunggu sebentar lagi.
"Sudah?" tanya Risa ketika baru saja sampai di depan Rio.
Rio mengangguk. "Tante, Papa dimana, ya?" tanya Rio dengan canggung karena baru pertama kali berbicara langsung dengan Risa.
"Papa kamu ada di bagian kiri butik," ucap Risa dengan tangan menunjuk tempat yang ia maksud.
"Makasih, Tante." Rio bergegas mencari ayahnya. Terlihat lelaki tersebut sedang duduk santai di sebuah kursi. Rio menghela napas lega.
"Pa," panggil Rio dan membuat ayahnya menoleh.
"Rio. Ada apa?"
"Ada yang mau Rio omongin." Rio duduk di hadapan ayahnya. Diam terlebih dahulu dan mencoba merangkai kata-kata. Ia melihat ayahnya juga diam, menunggu dirinya berbicara.
"Pertama, Rio minta Papa buat nerima Rian menjadi anak Papa," ucap Rio to the point, salah satu ciri khasnya.
Indra belum menjawab. "Pa? Come on," suara Rio kembali terdengar.
Indra menghela napas. "Papa usahakan. Tapi jangan paksa papa untuk berbuat lebih."
Rio mengangguk. Setidaknya itu cukup. "Yang kedua, beberapa hari yang lalu, Mama telepon Rian."
Wajah Indra berubah semakin datar ketika mendengar kalimat terakhir anak sulungnya itu. "Papa bilang, Papa sudah tidak peduli. Mengerti?"
"Tapi Pa, Papa setidaknya bisa dong menghargai keberadaan Mama walaupun kalian sudah bercerai."
"Tapi maaf, ketika surat perceraian itu sampai di tangan saya atas nama Emily Alenta, berarti mulai saat itu juga saya tidak berurusan dengan dirinya," ucap Indra dengan dinginnya.
"Saya minta maaf sebelumnya, Bapak Indra Dirgantara yang terhormat, kalau saja Anda lupa, seorang Emily Alenta adalah ibu saya, ibu kandung saya," balas Rio tidak kalah dingin dan emosi yang ia pendam di dalam kata-katanya.
"Bahkan saya juga tidak peduli dengan hal tersebut. Lagi pula kamu juga akan mendapatkan pengganti ibumu yang lebih baik." Indra tidak berusaha mengalah meskipun untuk pertama kalinya ia mendengar seorang Rio berbicara begitu formal kepadanya, sama seperti Rian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...