Rio melangkah pelan menyusuri ruang tamu dan keluarga. Tujuan utamanya saat ini adalah meja makan yang terletak di dekat dapur. Se-tidak-suka-nya dia di rumah ini, ia masih berusaha hadir untuk menghargai undangan seseorang. Bahkan di saat ia sudah tidak nyaman dengan rumahnya sendiri. Hidup memang selucu itu.
Kaos hitam polos dengan kemeja kotak-kotak berwarna hijau lumut—yang tidak ia kancing—serta jeans berwarna senada dengan kaosnya, menjadi pakaian kasualnya untuk menghadiri makan malam yang ia sendiri tidak tahu tujuannya.
Ia memelankan langkahnya ketika mendengar suara tawa dari arah dapur. Siapapun yang mendengar tawa itu pasti tahu bahwa mereka sedang bahagia. Rio kenal betul dengan tawa salah satu orang di sana. Papa. Tetapi ia tidak tahu orang lain yang tertawa bersama papanya itu. Tersengar seperti tawa seorang ... Perempuan?
Seketika Rio ingat ucapan Rian tadi pagi. "Buat apa? Cari restu sama cewek mana lagi? Gonta-ganti mulu."
Menghembuskan napas yang terasa berat, Rio memberanikan diri untuk melihat apa yang terjadi. Benar saja, senyum ayahnya langsung merekah yang juga menular ke wanita di sebelahnya. Rio balas membalas senyum singkat. Ia bergerak menyalami ayahnya.
"Kenalkan, ini Tante Risa." Tangan Rio terulur kepada wanita di sebelah ayahnya dan menyebutkan namanya secara singkat, seperti biasa.
"Ayo duduk. Ini Tante Risa yang masak semuanya." Indra mempersilahkan anaknya itu untuk duduk. Indra di kepala meja makan. Sedangkan Rio dan Risa berhadapan.
Rio menyantap makanan dengan hening. Oh, lebih tepatnya karena tidak ada yang mengajaknya mengobrol sama sekali oleh dua orang di depannya. Seperti remaja sedang dimabuk kasmaran. Bahkan, ia sendiri tidak tahu bagaimana rasanya jadi remaja yang kasmaran.
Indra mengalihkan pandangan kepada anak sulungnya. "Kamu memang kebanggaan Papa, Nak. Kamu yang tetap mau datang. Tidak seperti adikmu ya—"
"Pa. Stop it!" Ucapan Indra terhenti seketika setelah mendengar anak emasnya itu berbicara, bahkan sedikit membentak.
"Kamu berani membentak Papa karena anak nggak tau diri itu?"
Rio memejamkan matanya. Sungguh, keadaan seperti ini membuat ia benar-benar muak. Ia merasa selalu ada drama di hidupnya.
"Dia saudara kandung aku, bahkan kembaran aku, kalau Papa lupa." Rio melirik lengan kanan ayahnya yang sudah diusap dengan lembut oleh wanita barunya, bermaksud untuk menenangkan mungkin.
"Sudahlah. Papa malas membahas anak itu." Mereka bertiga sudah tidak menyentuh makanan mereka. "Papa cuma mau bilang, Tante Risa ini calon Ibu kamu," ucap Indra dengan senyum lembut sembari melirik wanita sebelahnya yang juga dibalas senyum tidak kalah lembut.
Rio masih bergeming. Entahlah, ia lupa sekarang wanita keberapa yang dikenalkan oleh Rio dan Rian—kadang-kadang. Dirinya yang awalanya melamun, langsung menolehkan kepalanya ketika ayahnya berbicara.
"Papa akan tetap menikahinya, dengan atau tanpa restu kalian."
Rio menggeleng pelan. Tidak habis pikir dengan pria di depannya, yang sayangnya adalah ayahnya sendiri.
Rio berdiri, membuat kursi yang ia duduki berdecit pelan. "Terserah, Papa. Tapi inget, Rian tetaplah darah daging Papa. Mama juga belum sepenuhnya maafin Papa. Rio permisi." Cowok itu melangkah meninggalkan sepasang kekasih di belakangnya.
Rio menaiki dan melajukan motornya tanpa tujuan. Tidak pernah memiliki tempat untuk pulang. Pulang dalam arti sesungguhnya. Ia pastinya akan merasakan kesepian di apartamennya yang besar itu. Mendatangi Rian sangatlah tidak mungkin. Lalu, dia harus mendatangi siapa kali ini?
Pikirannya yang kalut, emosi yang belum stabil, membuat dirinya hampir menabrak mobil di depannya. Rio menghembuskan napas perlahan, menepikan motor di sebuah pos ronda kecil yang kebetulan tidak ada orang. Lagipula jalan di gang ini termasuk sepi. Hitung-hitung menenangkan diri sekaligus jaga ronda tidak salah, 'kan?
Rio duduk termenung. Kakinya menggantung. Ia menutup wajahnya menggunakan tangan dengan siku yang bertumpu pada pahanya.
Dalam sekejap, Rio dapat mengingat bagaimana keluarganya hancur seperti sekarang. Tangisan disertai sebuah bentakan setiap malam. Teriakan yang dibalas teriakan. Ia membenci dirinya sebagai anak sulung keluarga yang tidak mampu menjaga Mama dan adiknya. Ketika orangtuanya bertengkar, ketika adiknya butuh keadilan, ia hanya menatap mereka dari balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
Rio kecil tidak pernah berani menyuarakan apa yang menurutnya benar dan menentang semua kesalahan yang terjadi. Ia terlalu pengecut karena selalu bersembunyi dibalik orangtuanya. Namun, di saat mereka bertengkar, dirinya malah tidak dapat melakukan apa-apa. Yang ia rasakan kini hanyalah sebuah penyesalan. Mamanya pergi, papanya berniat untuk menikah lagi, Rian yang sudah tidak sudi menganggapnya lagi. Astaga, lengkap sudah penderitaannya.
Rio merasakan sesak begitu menekan dadanya. Mukanya memerah menahan emosi yang campur aduk. Sedih, kecewa, marah. Ah, bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya. Ia tidak menangis. Setidaknya, itulah janji pada dirinya sendiri.
"Rio!" pekikan seseorang berhasil menariknya kembali ke realitas.
Hana datang dengan membawa kantong plastik yang cukup besar di kedua tangannya. Matanya berbinar, tidak menyangka bertemu Rio di sini.
"Lo ngapain di sini?" tanya Hana ketika sudah di dekat cowok itu.
"Saya cuma mampir aja. Habis dari jalan-jalan tadi. Kamu?" Rio berdiri di hadapan Hana.
"Oh. Gue habis dari supermarket." Rio ikut melihat toko yang ditunjuk oleh Hana dengan dagunya.
"Oh ya." Hana meletakkan barang belanjaannya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengulurkan kepada Rio. Sedangkan cowok itu menatap gadis di depannya dengan satu alis terangkat. "Gue mau minta nomor handphone lo. Buat tugas kelompok Sejarah itu."
Rio mengangguk paham. "Ini handphone kamu?" tanya Rio dengan tangan masih mengetik di ponsel Hana.
"Iya."
Setelah kecopetan sekitar seminggu yang lalu, ayahnya tetap membelikan ponsel untuknya. Awalnya Hana menolak mentah-mentah keinginan ayahnya. Namun dengan pengertian betapa pentingnya ponsel, ia menurut saja. Ia pun hanya memilih ponsel yang biasa-biasa saja, padahal ayahnya menawarkan model yang sama dengan ponselnya yang hilang. Gila saja, itu ponsel yang cukup mahal. Jika keadaannya masih seperti dulu, Hana mau saja. Tapi sekarang sudah berbeda. Bahkan, mereka sempat bertengkar kecil di toko tersebut.
Rio menyerahkan ponsel Hana kembali setelah selesai mengetikkan nomor handphonenya.
Hana mengangguk pelan menerima ponselnya. "Makasih. Yaudah, kalo gitu gue pulang dulu. Takut bokap nyariin."
Baru Hana berjalan selangkah, Rio menghentikannya. "Saya antar saja. Kasihan kamu. Barangnya banyak."
Hana menimang-nimang apakah ia akan menerima tawaran Rio atau tidak. Tetapi, cowok itu sudah menaiki motornya dan kali ini lebih memaksa Hana agar mau diantar.
Hana sedikit kewalahan dengan barang bawaannya. Dua kantong yang cukup besar. Masih untung jika motor Rio adalah motor matic. Sayangnya tidak. Akhirnya, Hana memutuskan untuk menaruh belanjaan di tengah-tengah mereka.
***
Apakah ada yang menunggu cerita ini? Jika iya, beri vote dan komentar ya.
Terima kasih.
Salam,
Bellen30 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...