Hananta 13

93 10 2
                                    

Rio turun dari motornya dan duduk di salah satu bangku kosong. Ia mengusap wajahnya frustasi sebelum menutup mukanya dan dengan siku bertumpu pada lutut. Biarlah orang yang ada di taman itu akan berpikir dirinya sedang menangis, gila, atau apapun itu. Nyatanya dia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang ia rasakan. Rasanya ingin marah, memukul apapun yang memungkinkan. Namun ia tahan mati-matian. Sedih, tapi dirinya juga tidak merasa sesedih itu. Ia menghela napas, mendongak dan menatap langit yang terlihat cerah.

Cowok itu mengeluarkan ponselnya. Membuka galeri dan mencari foto seseorang di sana. Ia melamun. Pikirannya berkelana, kembali mengingat semua kejadian sebelum ia sampai di taman ini.

Rio membuka pintu jati di depannya, terlihat megah. Kedatangannya disambut oleh pria yang umurnya tidak lama lagi mencapai setengah abad.

"Ada apa?" tanya Rio yang cepat-cepat ingin pergi dari sana.

Pria itu berdiri. "Duduk dulu. Papa sudah suruh OB antar minuman untuk kamu."

Indra Dirgantara duduk di sofa dan diikuti oleh putra sulungnya. Ya, Rio sedang berada di kantor ayahnya, Dirgantara Corps, lebih tepatnya di ruang kerja ayahnya.

Belum ada yang memulai percakapan sampai seorang Office Boy datang menghantarkan minuman, barulah ayahnya memulai pembicaraan.

"Bagaimana? Sudah lihat calon perusahaan yang akan kamu pimpin?"

Rio yang awalnya menunduk, kini menatap ayahnya. "Pa, kalo Papa minta Rio datang untuk bahas itu, mending aku pulang sekarang."

Indra terkekeh mendengar ucapan anaknya. Ia tahu jika Rio akan menanggapi seperti itu.

"Kenapa? Kamu masih percaya saudara kurang a—"

"Pa. Tolong," ucap Rio berusaha memperingati ayahnya.

Indra menghela napas. "Terserah kamu saja lah. Papa cuma mau nyampein ini ke kamu." Indra memberikan sebuah ker–Undangan?

Rio menatap ayahnya dengan tatapan penuh tanya. Buru-buru ia membuka undangan itu. Ia membaca cepat namun dengan teliti. Tertulis nama ayahnya dan Risa Wijaya di sana. Jika Rio tidak salah menghitung, kurang dari 3 minggu lagi papanya akan melangsungkan pernikahan.

"Pa?" tanya Rio masih dengan tatapan meminta penjelasan. Ia tahu bahwa ayahnya akan menikah. Tapi yang tidak ia habis pikir, ayahnya menikah dalam waktu dekat ini.

"Papa sudah bilang ke kamu sebelumnya." Ketegasan yang tidak pernah hilang dari Indra Dirgantara kini terdengar di telinga Rio.

"Bagaimana dengan Rian?"

"Papa harap kamu mengerti apa yang waktu itu kamu dengar."

Rio paham. Paham sekali jika pria di depannya ini tidak mempedulikan keputusan Rian. Tapi, apa ini tidak terlalu mendadak?

"Mama?"

Indra terdiam. "Papa benar-benar tidak peduli dengan itu semua." Aura dingin yang kali ini ia tunjukkan. Sifat yang menurun kepada kedua anaknya.

Rio mengangguk paham. Ia tahu keputusan ayahnya ini sudah mutlak. Ia bangkit, berniat untuk pulang. "Kalo gitu, Rio permisi dulu."

Baru dua langkah, ayahnya memanggilnya kembali membuat Rio berhenti tetapi tidak memutar badannya untuk menghadap Indra. "Terserah kamu beritahu mereka atau tidak. Kamu juga boleh mengundang siapa pun untuk datang ke pesta Papa."

Rio tahu mereka yang dimaksud oleh ayahnya. Rian dan mamanya. Memberitahu Rian sama saja memberitahu batu. Keras dan tidak akan peduli. Mamanya? Punya kontak mamanya saja tidak. Mamanya seperti menghilang ditelan bumi sejak dua tahun lalu.

Hananta ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang