Lagu Let Me milik Zayn Malik mengalun keras di kamar itu. Namun, sang pemilik kamar tidak merasa terganggu, begitu juga dengan kedua tamunya sekarang.
"Han, ini gimana sih? Aku nggak paham," tanya Mika sembari menunjuk ringkasan materi yang tadi diberikan Hana.
Hari ini hari Minggu. Hana memilih untuk menyelesaikan tugas Sejarah yang akan dikumpulkan besok. Kemarin ia sempat melanjutkan, karena pada hari sebelumnya harus terhenti yang disebabkan oleh kecelakaan Rian.
Mika memilih untuk datang ke rumahnya. Ibunya pun telah pulih dai sakitnya. Sekarang, giliran Rio yang tidak bisa datang. Namun, digantikan keberadaannya dengan Via. Hanya keberadaannya bukan posisi Rio dalam kelompok. Gadis itu daritadi hanya memainkan ponselnya, ngemil, guling sana guling sini. Tidak ada niat untuk membantu sama sekali.
Hana menjelaskan apa yang tadi ditanyakan oleh Mika. Mika yang memaksa untuk menyelesaikan sisanya, mengingat ia belum mengerjakan apapun.
"Pengusaha sukses, Indra Dirgantara, akan melangsungkan pernikahan dengan Risa Wijaya," gumam Via namun masih dapat didengar oleh Hana dan Mika.
Via mengubah posisinya dari tengkurap menjadi duduk. "Tunggu- tunggu. Ini bokap Rio sama Rian bukan sih?" tanya Via dengan tangan menaik-turunkan layar membaca ulang berita itu dengan fokus.
"Emang iya? Sok tau lo," hardik Hana cepat.
"Gue tahu. Dari awal masuk gue tahu kali mereka anak Indra Dirgantara, donatur terbesar di sekolah kita," jelas Via mengalihkan perhatiannya dari ponsel.
"Iya. Aku tahu juga. Dulu aku cuma tahu namanya sih, nggak tau orangnya."
"Masa lo nggak tau sih, Han?" tanya Via gemas sendiri dengan sahabat dari SMP-nya.
Hana menggeleng pelan. Ia benar-benar tidak tahu dan tidak mau tahu apapun yang berhubungan dengan ini semua. Ini anak siapa lah, pemberi donatur terbesar siapa. Hana benar-benar tidak peduli.
"Tapi, kok waktu Rian nabrak gue, lo nggak kenal?" tanya Hana penasaran sendiri.
Via memutar bola matanya. "Gue belum bisa bedain mana Rio, mana Rian. Kan dulu kita nggak sekelas sama mereka. Walaupun kalo mereka dijejerin itu beda, kalo sekilas tuh mirip banget. Toh, mereka sama-sama dingin, sama-sama ansos," jelas Via menggebu-gebu.
Hana paham sekarang. Jika Via tidak bisa membedakan Rio dan Rian, Mika tidak tahu mana orangnya, maka Hana tidak tahu nama, orang, bahkan siapa mereka di sekolahnya. Hebat.
"Woy-woy," ucap Via dengan mata kembali membaca artikel. "Masa di sini tulisannya, 'Indra Dirgantara akan tetap menikahi Risa Wijaya, walaupun tidak direstui oleh salah satu putranya, Andrian Dirgantara. Anak sulungnya, Andrio Dirgantara, dikabarkan sudah memberi restu kepada Indra Dirgantara'."
Hana dan Mika menyimak betul apa yang dibacakan oleh Via. Keduanya juga mengernyit mendengar pernyataan yang terkesan memaksa itu.
"Suka-suka mereka lah. Orang kaya bebas," Via mengibaskan tangannya dan disetujui oleh Hana dan Mika.
***
Rio mendengus pelan melihat artikel yang sudah tersebar di seluruh Indonesia. Benar-benar heran dengan ambisi ayahnya untuk menikahi Risa-Risa ini. Ia sedang berada di apartemen Rian. Ia sendiri yang memaksa untuk mengantar Rian pulang, karena tahu adiknya juga tidak punya teman dekat yang dapat diandalkan.
Rian mendatangi Rio yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Ia berjalan dibantu oleh satu kruk yang ada di tangan kanannya. Untung saja tulang pergelangan kakinya tidak patah, hanya bergeser. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk sembuh walaupun tetap harus berjalan menggunakan kruk.
"Jadi lo udah restuin papa?" tanya Rian setelah duduk di samping Rio. Mereka sama-sama menatap lurus ke arah televisi yang tidak dinyalakan.
"Gue nggak pernah bilang kalo gue setuju," jawab Rio berusaha jujur.
"Tapi lo juga nggak nolak, 'kan? Wajar kalo papa nganggap lo restuin dia," lanjut Rian seperti sudah tahu bagaimana jalan ceritanya.
Rio menghembuskan napasnya. "Terus, lo mau gimana setelah ini?" tanya Rio mengalihkan pandangannya ke Rian.
Rian mengangkat bahunya. "Nggak ada yang perlu gue lakuin. Dengan atau tanpa restu gue, Indra Dirgantara akan tetap menikah, bukan?"
Rio menganggukkan kepalanya perlahan. Apa yang ada di pikiran Rian, juga mengganggu di pikirannya sekarang. Mereka sama-sama tidak mau ayah mereka menikah lagi. Ayahnya lah yang membuat keluarga mereka hancur. Bahkan, semua anggota keluarganya memilih untuk tinggal berpisah. Kompak mempunyai kediamannya masing-masing.
"Gue mau ngomong." Rio memecah keheningan setelah beberapa menit mereka diam dengan pikiran yang berkecamuk di kepala masing-masing.
Rian termangu sesaat. Ia tahu, hal ini pasti serius. Terdengar dari nada bicara Rio. Rian sendiri bisa membedakan nada serius dan nada tenang dari kembarannya itu. "Silahkan."
Rio menundukkan kepalanya sebentar dan menghembuskan napasnya, sebelum kembali mendongak dan menatap lurus ke depan. Tidak menoleh ke Rian sama sekali. "Gue minta maaf. Selama ini, lo mungkin cuma jadi bayang-bayang gue di keluarga kita. Mungkin lo benci sama gue. Lo berhak buat marah sama gue. Karena gara-gara gue, lo nggak pernah nyaman di keluarga kita. Lo bahkan pindah ke apartemen jauh sebelum gue pindah juga. Gue minta maaf, nggak bisa jadi kembaran sekaligus kakak yang baik buat lo." Rio berhenti sebentar, memberi jeda bagi dirinya sendiri untuk bernapas.
Ketika Rian tidak menanggapi, ia melanjutkan kembali, "Tapi dari semua itu, gue cuma pengen jadi kakak lo. Bener-bener kakak lo. Lo yang ngganggep gue dan mau nerima gue. Karena jujur, gue nggak punya siapa-siapa lagi selain lo. Nyokap uda memutus hubungan sejak dia balik ke Amerika. Bokap peduli sama gue cuma untuk perusahaannya, yang gue juga nggak mau. Gue tahu, sebenernya lo mau 'kan gantiin posisi bokap?" Rio menatap Rian yang juga sedang menatapnya. "Gue cuma punya elo, Yan. Gue pengen deket sama kembaran gue, sama adik gue." Rio menatap adiknya itu dengan penuh harap.
Rian menatap Rio sekilas. "Udah?" Rio mengangguk sekali. "Lo tau, 'kan pintu keluar dimana? Silahkan keluar." Rian membuka tangannya, menunjuk pintu apartemennya.
Rio menghembuskan napasnya. Ia berdiri melangkahkan kaki keluar. "Gue pulang," ucap Rio tanpa menatap Rian.
Jujur saja, Rian juga ingin seperti yang Rio ucapkan tadi. Namun, egonya yang terlalu tinggi, membuat dirinya harus melakukan itu. Empat belas tahun bukanlah waktu yang singkat baginya. Ia baru dapat ketenangan saat dirinya pindah ke apartemen tiga tahun lalu. Berbekal uang dari orangtuanya, ia yang masih kelas 2 SMP nekat untuk tinggal sendiri. Untung saja orangtuanya tetap mengirimkan uang. Namun, tidak ada dari mereka yang meminta dirinya untuk pulang. Apa yang mereka pikir hanya tentang uang? Apakah ia sangat tidak diinginkan oleh keluarganya? Hal itulah yang membuat dirinya menjauhi semua anggota keluarga, sekalipun itu adalah Rio.
***
07 Juli 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...