Jangan lupa vote🌟
🎵Perfect Strangers-Jonas Blue ft. JP Cooper
***
Rian memainkan ponselnya dengan televisi yang menyala. Tiduran di sofa seperti ini adalah kesukaannya. Ia sengaja menyalakan televisi agar suasana tidak terlalu sepi. Walaupun tidak ditonton dan akan boros listrik, ia tidak peduli. Selama hidupnya tidak ada sejarah ia tidak bayar listrik.
Ia memilih di rumah saja hari ini karena melihat kondisi kembarannya yang mengenaskan. Meskipun belum pernah ada di situasi seperti ini sebelumnya, ia tetap tidak akan tega meninggalkan Rio dalam keadaan seperti itu. Takut sewaktu-waktu Rio membutuhkan dirinya.
Rio keluar dari kamarnya setelah tidur sejak Hana pulang. Mungkin efek obat dan tubuh cowok itu yang terlalu kelelahan.
"Makanannya di sini," teriak Rian tanpa mengalihkan tatapan dari ponselnya.
Tidak ada jawaban dan selang beberapa menit kemudian Rio datang dengan segelas air, piring, dan sendok. Ia duduk di single sofa dan menyiapkan makanannya.
"Lo nggak ke club?" tanya Rio yang masih fokus membuka bungkusan nasi padang di depannya.
"Enggak. Takut sewaktu-waktu lo meninggal terus bingung mau ngasih pesan terakhir ke siapa," jawab Rian acuh dan masih terus fokus ke ponselnya.
Rio menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Lidahnya terasa pahit, namun ia harus tetap mengisi perutnya yang kosong sejak tadi siang. "Gue meninggal, lo nangis-nangis nanti."
Rian bangun dan menatap Rio. "Ih, anjir. Jangan ngomong gitu. Gue jadi takut."
Rio menatap adiknya malas. "Yang ngomong duluan siapa tadi?"
Rian tidak menjawab dan kembali ke posisi tidurnya. "Buruan dihabisin makanannya. Biar cepet balik tidur lo. Males gue debat sama lo."
Semenjak tinggal dengan Rio, ia sering sekali merasa kesal karena sifat kembarannya. Padahal tanpa ia sadari, sifat mereka sama. Hanya saja mereka mempunyai selera yang berbeda, yang membuat mereka seakan-akan sangatlah bertolak belakang.
Suara bel rumah mereka berbunyi, membuat Rian menggerutu. "Siapa sih yang dateng malem-malem gini? Nggak biasanya."
Rio melirik adiknya sekilas. "Mending lo bukain daripada ngedumel kayak gitu."
"Kenapa enggak lo aja?"
"Lo nggak liat gue lagi apa?"
Rian berdecak. Dulu waktu dia masih tinggal sendiri, tidak ada yang menyuruh dirinya ini dan itu. Giliran sekarang tinggal dengan kakaknya, ia yang jadi korban disuruh apapun itu. Bahkan, jika mereka sedang debat, Rio lah yang selalu menang. Entah tinggal bersama adalah sebuah kabar baik atau buruk bagi Rian.
Rian berjalan malas-malasan menuju pintu rumahnya. "Siapa?" tanyanya sambil membuka pintu.
"Hai," sapa sang tamu dengan muka sumringahnya.
Rian mengernyit tidak suka dengan kehadiran orang tersebut. "Lo ngapain ke sini?"
"Gue?" Tunjuknya kepada dirinya sendiri. "Ya gue mau jenguk pacar gue."
Rian terkekeh tidak percaya mendengar ucapan gadis di depannya. Terlalu percaya diri. "Lo ditolak di rumah ini."
"Hello!" Gadis itu berbicara dengan gaya centilnya. "Lo siapa berhak ngelarang gue dateng ke sini?"
"Gue mewakili Rio. Dia juga nggak suka lo di sini. Mending lo pergi sekarang, mumpung gue yang ngusir. Nanti kalau Rio yang ngusir, lo pulangnya sambil nangis-nangis. Bisa seneng gue kalo kayak gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...