Jangan lupa vote🌟
🎼 8 Letters-Why Don't We
***
Rio termenung di kamarnya, teringat setiap kalimat yang dikatakan oleh Hana tadi sore. Ia juga mau untuk berjuang atas penyakitnya, tapi dirinya takut. Takut jika hanya memperlambat, bukan menyembuhkan.
"Rio lo udah makan malam belum?" tanya Rian yang sudah berada di ambang pintu kamarnya tanpa perlu mengetuk terlebih dahulu. Semenjak tahu tentang penyakitnya, Rian menjadi lebih cerewet. Rio nggak boleh ini lah, nggak boleh itu lah.
"Udah. Minum obat juga" Rio menatap adiknya. "Mau ke club lo?"
"Iya, makanya gue mastiin lo udah makan atau belum." Ia mengangguk kecil, lalu kembali hening. "Mau ngomong apa lo? Gue tau yang lagi lo pikirin."
Rian duduk di kursi belajarnya, sedangkan Rio masih duduk bersandar di kasur. "Hana tadi bujuk gue. Lo cerita?"
Rian mengedikkan bahunya kecil. "Dia udah tau dan gue cuma mengkonfirmasi aja."
"Lo yang nyuruh dia bujuk gue?" Rio melihat adiknya yang lagi-lagu hanya mengidikkan bahu. "Kenapa sih? Gue bilang percuma, per—"
"Percuma karna memperlambat? Lo mau ngomong gitu lagi? Gue capek ya debat cuma masalah ini doang." Rian menatap kakaknya tanpa emosi. "Semua orang bakal mati, lo tau itu. Gue bahkan bisa mati setelah gue keluar dari kamar ini, Yo. Tapi kalau lo cuma stuck sama pemikiran lo yang kayak gitu, gue rasa emang hidup lo udah mati. Percuma juga pada akhirnya. Gue tau lo takut, cause me too. Gue takut for something we didn't know yet. Apalagi yang lo takutin? Ada gue, mama, Hana pun sekarang uda ada di pihak lo."
Rio menghela napas. "Lo bener, kapan pun semua orang bakal pergi. Tapi,—" Rio benar-benar tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
"Nggak ada yang siap sama kehilangan, Yo. Tapi yang kita mau lo sembuh, bukan nyerah kayak gini. Banyak kan kasus di luar sana, orang-orang yang kena kanker tapi masih bertahan. Gue juga mau lo kayak gitu. Banyak orang yang berharap lo bisa bertahan."
Rio menyugar rambutnya, menghela napas untuk kesekian kalinya. "Okay, I will take it. So sorry if I made you stressed," putusnya setelah sekian lama.
Rian tersenyum, terlihat sangat lega. "Gue seneng kalau akhirnya lo mau berjuang. Besok kita ke rumah sakit. Kalau gitu, gue pergi dulu sekarang lo tidur aja. Gue bawa kunci cadangan. Bye bye."
Rio terkekeh melihat tingkah Rian. Tiba-tiba merutuki sifat kekanakannya belakangan ini. Merepotkan orang-orang terdekatnya. Ingatannya kembali ke beberapa minggu lalu, saat ia memberitahu mama dan Rian tentang penyakitnya.
"I have something to tell." Rio terdiam beberapa saat, lalu menghembuskan naapsnya. "I have cancer. Stadium 2."
Hening. Semua hening berusaha untuk mencerna apa yang Rio katakan.
"Lo bercanda kan?" Suara Rian yang pertama kali terdengar di antara mereka. Tanpa suara, Rio meletakkan kertas berisi hasil pemeriksaannya sore tadi di meja dan langsung diambil Rian.
"Beberapa hari gue mimisan. Ternyata itu salah satu gejalanya."
"If you need doctor, I'll find it for you. Apapun mom bakal lakuin, selama kamu bisa sembuh. Kamu mau kemoterapi di mana pun, Mom akan setujui."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...