Hananta 3

199 15 1
                                    

Hana melangkahkan kakinya keluar dari area perumahan sederhana, menuju ke tepi jalan raya. Ia berdiri di sana sembari melongokkan kepalanya ke arah kanan, melihat-lihat angkutan umum yang nantinya akan ditumpangi.

Hari Minggu yang cukup cerah ini, Hana berniat untuk pergi ke perpustakaan daerah yang ada kotanya itu. Ia akan mengerjakan tugas-tugas yang sudah mulai menumpuk selama 1 bulan sekolah. Daripada menghabiskan waktu juga uang untuk hangout seperti teman yang lain, jelas ia memilih untuk ke perpustakaan saja. Lagipula ia sangat menyukai tempat itu. Tenang, banyak buku yang bisa ia pinjam tanpa membayar, mendapat banyak pengetahuan.

Gadis dengan kuncir kuda itu segera melambaikan tangan ketika angkutan umum yang sedari tadi ia tunggu sudah mulai terlihat. Dengan kondisi yang cukup penuh, Hana terpaksa duduk di dekat pintu yang tentunya juga sempit karena duduk berdempetan dengan penumpang lain.

Mengeluarkan ponselnya, Hana berusaha untuk menghilangkan rasa jenuh. Jalanan lumayan macet dan ia sadar diri sekarang sedang menaiki angkutan umum yang akan berhenti di manapun dan kapanpun ketika ada penumpang akan turun ataupun naik. Perjalanan yang hanya butuh waktu 15 menit, kini ia harus bersabar karena setidaknya 30 menit lagi ia baru sampai.

Pandangannya beralih, menatap curiga kepada bapak-bapak yang ada duduk di depannya. Mata bapak itu terlihat seperti memperhitungkan sesuatu. Gerakan badannya yang nampak gelisah juga menjadi perhatian tersendiri bagi Hana. Berusaha berpikir jernih, dirinya kembali menatap ponsel yang ada di tangannya.

Selang beberapa menit, bapak di depannya tadi menginterupsi supir untuk berhenti. Setelah angkutan umum itu menepi, beliau langsung lari membawa serta tas kecil dari penumpang di sebelahnya secara paksa dan merebut ponsel Hana yang sedari tadi ia genggam. Pekikan ibu-ibu yang dirampok serta keterkejutan Hana, membuat Hana secara spontan turun dari angkot, bahkan ia lupa untuk membayar ongkosnya. Biarlah, bapaknya juga pasti paham situasinya kok.

Sial, Hana tidak fokus tadi pada saat bapak itu mengambil ponselnya secara tiba-tiba. Ia sedang melamun dengan dagu di tahan oleh tangan kirinya dan ponselnya ia bawa di tangan kanan yang lengannya terkulai lemas di depan siku tangan kirinya.

Hana terus berlari berusaha mengejar pencopet itu. Boleh 'kan Hana menamainya seperti itu? Walaupun Hana sudah berlari secepat mungkin, ia tetap merasa kewalahan karena bapak itu seperti sudah lincah dan gesit untuk menggerakkan tubuhnya. Bahkan ia sekarang juga sudah masuk gang-gang rumah penduduk.

Hana dikagetkan oleh suara klakson motor dari arah kirinya. Ia bahkan tidak memperhatikan jalan padahal ia berada di persimpangan jalan yang pastinya akan ada kendaran berlalu lalang.

Menghela napas, Hana memilih untuk merelakan ponselnya karena memang sepertinya tidak mungkin lagi dikejar. Namun ia sedih bukan kepalang. Ingin menangis rasanya. Tugas-tugas, nomor telepon, nomor pribadinya yang sudah ia pakai hampir tiga tahun ini, hilang tak bersisa.

"Hana?" Gadis yang merasa dirinya dipanggil itu langsung menolehkan kepalanya ke kiri. Melihat pengendara yang melepas helmnya dan masih duduk di atas jok motornya. Astaga, bahkan ia lupa kepada pengendara yang tadi hampir menabraknya.

"Rio. Maaf," ucap gadis itu singkat dan lirih. Ya, pengendara yang hampir menabraknya itu adalah Rio. Ternyata manusia dingin, datar, cuek itu masih punya hati. Jika tidak, bisa dipastikan bukan ponsel Hana saja yang hilang, tetapi nyawanya juga ikut hilang.

Rio yang akan mengenakan helmnya lagi, bahkan tidak menanyakan kondisi Hana terlebih dahulu, segera mengurungkan niatnya ketika malah melihat gadis di depannya itu menangis.

Rio langsung turun setelah menepikan motornya. Menarik Hana untuk duduk di trotoar. Untung saja tempat itu tidak terlalu ramai. Bukan Hana yang malu, jelas saja Rio yang akan menanggung malu.

Hananta ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang