Rian asyik mendengarkan musik melalui earphone dengan dahi menumpu pada tangan yang ia jadikan bantal. Sampai seseorang mengusik ketenangan dirinya ketika ia merasa salah satu earphonenya ditarik begitu saja.
Rian mendengus malas menatap datar orang di hadapannya. "Bisa 'kan lo panggil nama gue? Nggak seenaknya narik earphone gue."
Rian juga tidak heran jika dibalas tatapan yang tidak kalah datar dari milknya. "Gue uda manggil nama lo. Lo nggak denger," jelas orang itu yang mengundang decakan Rian.
"Kenapa lagi?" Selalu seperti itu, singkat.
"Bokap ngajak makan malem nanti di rumah." Rio, menjelaskan tujuannya bertemu dengan Rian.
"Buat apa? Cari restu sama cewek mana lagi? Gonta-ganti mulu. Heran gue," ujar Rian dengan memutar bola matanya.
Rio mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya, berharap emosinya menurun. "Jaga ucapan lo! Bagaimanapun juga dia bokap lo!" ucap Rio tidak segan-segan menunjuk muka Rian dengan telunjuknya.
Rian terkekeh sinis. "Bahkan dari lahir gue udah nggak punya orang tua," desisnya sebelum pergi serta menyenggol bahu kembarannya dengan sengaja.
Rian berjalan ke arah rooftop sekolahnya. Setidaknya, di sini ia dapat menenangkan pikiran. Padahal bel masuk sekolah lima menit lagi akan berbunyi. Masalah dia akan masuk atau tidak saat jam pelajaran, biar ia pikirkan nanti.
Entah mengapa, Rian selalu benci jika sudah berhubung dengan keluarga. Bahkan baru rencana makan malam yang tadi Rio katakan, ia sudah muak setengah mati. Bagaimana jika pada saat acaranya? Oh, mungkin Rian akan menjadikan satu-persatu dari mereka merasakan kebolehannya dalam karate yang sudah ia tekuni semenjak kelas 5 SD.
Jika biasanya saudara kembar akan saling membutuhkan, selalu bersama, bertengkar kecil yang malah membuat mereka dekat, maka hal tersebut tidak terjadi kepada Rio dan Rian. Rian yang selalu terluka di tengah-tengah keluarganya sendiri. Itu pun karena kakak kembarnya, Rio. Bukan kehangatan yang ia terima, namun rasa sakit yang membekas hingga kini. Jika ia berharap akan hilang dalam waktu dekat, masih terasa tidak mungkin, karena memang tidak tanggung-tanggung ia mendapatkan luka itu.
Sifatnya memang bisa dibilang hampir mirip dengan sifat Rio. Namun, perlakuan yang berbeda di keluarganya, Rian tumbuh menjadi pemuda yang tempramental. Tentu sangat jauh dengan Rio yang masih bisa mengandalkan emosinya. Dulu bahkan ia pernah menduga bahwa ia hanyalah anak pungut, karena perlakuan orangtuanya kepada dirinya dan Rio sangatlah berbeda. Namun, wajah yang mirip dengan kembarannya, walaupun mereka tidak identik, membuktikan jika dugaannya salah.
Cowok itu menghembuskan napas keras sebelum kakinya melangkah menuruni tangga. Jam pelajaran sudah dimulai hampir 30 menit yang lalu. Butuh waktu lama baginya agar tenang. Ia juga takkan dikeluarkan dari sekolah ini. Toh, ayahnya adalah donatur paling besar di sekolahnya.
Saat melewati lapangan basket, dirinya merasa ada bola basket mengenai kepalanya. Astaga, siapa yang berani menjadikan kepalanya sebagai ring basket? Sambil memegang bagian kepalanya yang masih berdenyut nyeri, matanya bergerak mencari orang yang secara tidak langsung mengibarkan bendera perang terhadapnya.
Seorang cewek datang mendatanginya. Matanya menyipit, mengamati cewek di hadapannya itu. Ia merasa pernah melihatnya. Ah, iya. Dia ingat sekarang. Dirinya pernah menabrak dan menumpahkan milkshake di baju cewek itu. Kalau Rian tidak salah, cewek ini satu kelas dengan Rio. Dugaannya benar ketika melihat Rio sedang menatapnya dengan tatapan waswas. Ia juga sadar jika mereka sedang pelajaran olahraga, dilihat dari pakaian yang mereka kenakan.
Rian melirik cewek di depannya yang tidak berkata apapun sejak sampai di hadapannya. Salah satu alis Rian naik seakan bertanya Kenapa?
Hana tampak gelagapan. Tangannya yang sudah memegang bola yang tadi terlempar pun sekarang berubah menjadi agak berkeringat. Sungguh, Hana tidak menyukai aura dingin dan mengintimidasi baik dalam diri Rio maupun kembarannya itu. Walaupun ini baru kali keduanya ia bertatap langsung dengan Rian.
"Maaf." Hanya satu kata yang dapat ia keluarkan.
Mimik wajah Rian tidak ada tanda-tanda perubahan. "Lo masih dendam sama gue gara-gara milkshake waktu itu?"
Hana menggeleng dengan cepat. "Nggak kok. Gue ng-nggak sengaja tadi."
Rian memutar bolamatanya malas. "Basi. Punya kapten basket di kelas lo tuh gunain. Pinter." Rian melenggang pergi dari hadapan Hana. Demi Tuhan, Hana sudah tulus meminta maaf, pria itu malah mengatainya. Dia tidak bodoh. Ia tahu apa arti kata 'Pinter' di kalimat Rian tadi. Secara tidak langsung cowok itu bilang bahwa dia bodoh 'kan? Ah ya, setelah ini ia akan berlatih langsung dari Rio, kapten basket sekolahnya. Terima kasih, Rian, telah membantu Hana.
Hana kembali ke tengah lapangan untuk melanjutkan pelajaran olahraganya. Jujur, ia masih kesal dengan Rian. Mungkin perkataan Via jika ingin balas dendam dengan Rian, akan Hana setujui dengan senang hati setelah ini.
Bel tanda pelajaran usai telah berbunyi. Hana dan Mika bergegas untuk membereskan alat tulis yang berserakan di atas meja.
"Mik, lo mau ikut gue ke rumah Via nggak? Dia ngajak belajar bareng," tawar Hana dengan tangan bergerak menutup resleting tas hitamnya.
Mika menghentikan aktivitasnya, tampak berpikir. "Kapan-kapan aja, Han. Nanti aku mau nemenin mama belanja bulanan."
Hana mengangguk dan mulutnya membentuk huruf O. "Yaudah gapapa. Gue duluan ya. Mau nyamperin Via dulu." Hana melambaikan tangannya dan dibalas lambaian oleh Mika disertai senyum lebar gadis itu.
Hana melangkah sambil memegang tali dari ranselnya. Ia sedikit berlompat-lompat dengan tangan melambai saat melihat Via baru saja keluar dari kelasnya. Koridor cukup ramai saat ini, ia berharap Via dapat melihatnya.
Hana melangkah mendekat karena tidak ada tanda-tanda Via melihat ke arahnya. Baru beberapa langkah, ia merasa tubuhnya ditabrak dengan kuat oleh seseorang. Bahunya meluruh, setelah sadar siapa yang baru saja menabraknya. Rian. Ia kini sedang di depan kelas cowok itu.
"Lo tuh kalo jalan liat-liat dong. Nggak mantengin handphone lo terus," gerutu Hana merasa kesal sendiri karena cowok itu lagi-lagi tidak menunjukkan rasa bersalah.
"Udah?" Dengan santainya Rian pergi dari hadapan Hana. Sedangkan cewek itu menganga tidak percaya. Ia bahkan merasa rahang bawahnya sudah menyentuh lantai berubin putih sekolahnya itu.
Tepukan seseorang menyadarkan Hana dari rasa terkejutnya. "Lo kenapa sih?" tanya Via bingung melihat kelakuan Hana.
Hana buru-buru menggeleng. Nanti saja ketika kekesalannya tidak bisa ia bendung, ia baru akan meminta bantuan pria datar abnormal itu. "Nggak. Yaudah yuk balik aja." Hana menarik pelan lengan Via.
Via yang sebenarnya masih bingung, tidak melakukan hal lain selain mengikuti Hana yang sekarang ada di depannya.
***
28 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...