Halo! Tahu cerita ini darimana?
Sebelum baca, jangan lupa vote ya!
Happy reading!***
International High School.
Siapa yang tidak tahu sekolah itu?
Siapa yang tidak ingin sekolah di sana?
Siapa yang berani meragukan kualitasnya?Tidak ada.
Tiga pertanyaan dan jawaban yang terdiri dari dua kata itu cukup menjelaskan bagaimana sekolah tersebut, bukan?
Hana. Gadis yang beruntung dapat belajar di sekolah tersebut tanpa biaya sepeser pun. Hebat? Tentu. Tes jalur prestasi beberapa bulan lalu membawa dirinya ke tempat ini. Beasiswa penuh selama tiga tahun ia dapatkan dengan tidak mudah. Belajar, belajar, dan belajar. Rutinitas yang tidak dapat ditinggalkannya.
Setiap tahun, sekolah tersebut merekrut tiga siswa terbaik khusus jalur beasiswa dengan tes yang tidak hanya sekali dan tentu saja tidak mudah. Untung saja Hana dapat memposisikan dirinya pada peringkat tiga, menjadi siswa peringkat akhir untuk menerima beasiswa. Tidak dapat disebut sangat pintar karena bukan peringkat pertama, tapi juga bukan termasuk bodoh karena dapat menyingkirkan ratusan siswa lainnya.
Tentu ada berbagai alasan yang mendasari Hana untuk memilih jalur beasiswa ini. International High School adalah sekolah impiannya sejak SMP dulu. Dulu, mungkin ia masih membayangkan akan menempuh pendidikan di sekolah bergengsi tersebut tanpa perlu memikirkan biayanya.
Namun, kabar buruk menimpa keluarganya. Terutama setelah ibunya dinyatakan meninggal. Pekerjaan ayahnya sebagai salah satu pegawai kantor membuat dirinya sadar jika bersekolah di IHS tidak akan berjalan mudah mulai detik itu.
Impiannya tetap sama, namun jalan yang harus ditempuh berbeda.
Banting stir, ia harus mati-matian belajar untuk beasiswa IHS. Ayahnya tidak pernah memaksa dirinya untuk mendapat beasiswa. Pria kesayangan Hana itu berkata akan memenuhi segala kebutuhan Hana, terutama masalah pendidikan. Namun tidak, ia cukup sadar diri dengan kondisi mereka sekarang.
Menjadi murid beasiswa di antara murid-murid berada lainnya, tentu tidak mudah bagi Hana. Memasuki tahun kedua, bukan berarti selama satu tahun sebelumnya dilalui dengan mulus oleh gadis tersebut. Ada saja yang membuatnya kesal, marah, bahkan menangis secara diam-diam.
Rasanya, cobaan semasa SMA-nya tidak membiarkan hidupnya tenang. Sebagai bukti, kelas 11 ini kelas mereka akan diacak. Murid-murid yang tergolong lebih unggul dibagi merata disetiap kelas.
Sebenarnya hal itu terjadi setiap tahun dan dirinya tentu tahu dengan peraturan ini. Namun, kenyataan bahwa ia harus terpisah dengan sahabatnya sejak SMP membuat dirinya berdecak kesal sembari membaca nama-nama yang tertera di papan pengumuman sekolahnya.
Menghela napas, Hana melangkahkan kakinya ke kelas XI MIPA 2, kelas barunya. Via, sahabatnya, berada di kelas MIPA 5. Astaga, mereka bahkan dipisahkan ujung lorong satu dengan ujung lorong lainnya.
Kelasnya mulai ramai karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh. Hana mencari tempat duduk yang sekiranya nyaman dan membuat dirinya fokus belajar. Bahkan ia pun bingung sekarang harus duduk bersama siapa. Setiap bangku kelas pasti terisi karena memang disamakan dengan jumlah siswa di kelas tersebut.
Akhirnya, ia memilih untuk duduk di bangku baris ketiga yang dekat dengan dinding, tidak terlalu depan maupun belakang. Setidaknya nggak jadi pusat perhatian, pikirnya.
"Wow. Jadi bocah miskin ini masuk kelas ini? Dua tahun ke depan gue bakal punya hiburan nih," ujar perempuan bernama Bunga yang disambut gelak tawa dua dayang di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...