Hana berbaring di kasurnya, setelah sebelumnya menata semua barang belanjaan. Untung saja tugas sudah ia kerjakan dan besok tidak ada ulangan, sehingga ia bisa sedikit bersantai malam ini. Ia buru-buru mengubah posisinya menjadi tengkurap ketika mengingat tugas kelompok Sejarah. Beruntung dirinya satu kelompok dengan Mika dan Rio. Karena hanya mereka yang dekat dengan Hana, setidaknya seperti itu.
Ia mencari kontak dan mengabari teman sekelompoknya itu. Pertama, ia menghubungi Mika baru ia akan menghubungi Rio.
Hananta L. Bahari
MikaMikaila A. Mentari
Gimana, Han?Hananta L. Bahari
Besok ngerjain tugas sejarah yuk..
Deadlinenya kan 4 hari lagiMikaila A. Mentari
Aduhh, maaf banget Hana
Mama masuk rumah sakit, aku harus jagain mama setiap pulang sekolah..
Gantian sama papa..Hananta L. Bahari
Ohh, yaudah gapapa deh..
Ntar gue kerjain sama Rio duluMikaila A. Mentari
Maaf ya Hana
Sekali lagi maafff bangettt..Hananta L. Bahari
Iya gapapa..
GWS buat mama lo..Hana menghembuskan napas pelan. Sekarang ia membuka roomchat dengan Rio setelah membaca pesan terakhir Mika yang mengatakan 'Terima kasih'.
Hananta L. Bahari
RioDi ponselnya, pesan itu sudah terkirim. Tinggal menunggu cowok itu membalas pesannya. Hana kembali memutar badannya dan tidur terlentang. Ia memejamkan kedua matanya. Rasanya lelah dengan aktivitas hari ini.
Hana kembali membuka ponselnya untuk melihat notifikasi. Tidak ada tanda-tanda Rio membalas pesannya.
10 menit..
15 menit..
30 menit..
Astaga, kantuk sudah menyerang Hana. Gadis itu memutuskan untuk tidur saja. Masalah ini bisa dibahas besok waktu di sekolah. Baru matanya akan terpejam, Hana dikagetkan dengan sebuah notifikasi dari ponselnya.
Ia menekan tombon on ponselnya dan hanya melihat pesan dari notification barnya. Malas jika ternyata isi pesannya tidak penting. Ternyata ada pesan dari Rio, membalas pesannya yang mungkin sudah hampir empat puluh menit yang lalu. Namun, dirinya kembali melock ponselnya dan menaruh di atas nakas setelah membaca sekilas pesan Rio.
Andrio A. Dirgantara: ?
Setidaknya, itulah yang dapat dibaca oleh Hana di notification bar ponselnya.
Bangke. Umpat Hana di dalam hatinya sebelum benar-benar mengakhiri hari yang melelahkan dan menyebalkan itu.
***
Rio melangkah santai menuju kelasnya. Banyak yang menyapa cowok itu sewaktu melewati koridor. Namun tentu saja, tidak ada dari mereka yang Rio tanggapi. Ganteng, pintar, kaya, tidak neko-neko, siapa sih yang tidak ingin menjadi teman dekatnya? Cuma sifat dinginnya yang kelewatan, membuat dirinya tidak mempunyai teman dekat. Laki-laki pun tidak ada, apalagi perempuan. Hal yang sama juga terjadi pada adiknya. Namun, mungkin masih lebih baik Rian ketika bersosialisasi dengan orang di sekitarnya.
Anak sulung Dirgantara itu memasuki kelasnya yang mulai ramai. Dirinya langsung mengarahkan kakinya ke meja Hana, teringat bahwa gadis itu tidak membalas pesannya semalam—yang ia yakini untuk membahas tugas mereka.
"Hana." Hana mengangkat kepalanya dan melepaskan kedua earphone yang sedang bertengger di telinganya. Percayalah, dia tidak tuli seperti Rian waktu itu.
"Ya?"
"Kenapa tadi malam chat saya?" tanya Rio tanpa basa-basi.
"Oh iya. Gue mau bahas tugas Sejarah kita. Kalo dari hari ini, tiga hari lagi harus dikumpul."
Rio mengangguk paham. "Lalu?"
Menurut lo aja, gimana?
"Gimana kalo kita kerjain mulai hari ini? Biar nggak terlalu keburu aja sih." Hana terpaksa tidak mengeluarkan apa yang ada di dalam hatinya. Nanti kalau cowok di depannya ini marah, masa iya dirinya harus mengerjakan tugas itu sendiri?
"Boleh."
"Tapi Mika nggak bisa ikut hari ini. Nyokapnya masuk rumah sakit."
"Gapapa."
"Kalo kerjain di rumah gue gimana? Bahan-bahan mindmap ada di rumah semua dan nggak gue bawa sekarang," usul Hana sedikit takut jika ditolak begitu saja oleh Rio.
"Oke." Cowok itu langsung pergi ketika dirasa urusannya sudah selesai.
"Itu cowok waktu kecil telat belajar ngomong apa ya?" gerutu Hana dengan suara sangat kecil dengan kedua tangan mengepal di depan mukanya karena gemas sendiri.
***
Rio melangkahkan kakinya ke area parkir. Kali ini dirinya tidak sendiri karena ada Hana. Setelah bel berbunyi tadi, mereka memutuskan untuk langsung menuju rumah Hana.
Hana memasuki rumahnya diikuti oleh Rio. Cowok itu merasa canggung, karena jujur, baru kali ini ia mampir ke rumah seorang perempuan selain saudaranya sendiri.
"Duduk aja, gue mau ganti baju sekalian ambil bahan-bahannya," ucap Hana sembari menunjuk sofa berwarna putih tulang.
Rio mengangguk. Ketika Hana masuk, ia melepas baju seragamnya dan menyisakan kaos hitam polos. Agar nantinya, ia dapat mengerjakan tugasnya dengan lebih santai. Ia meletakkan punggungnya di sandaran sofa. Matanya bergerak mengamati beberapa foto yang terpajang di ruang tamu itu.
Tidak lama kemudian, Hana datang dengan membawa nampan berisi dua buah jus jeruk dan beberapa cemilan. Sebuah kantong plastik juga menggantung di lengan kanannya.
Cowok itu menatap Hana dan menggumamkan kata 'Terima kasih'. Namun, matanya kembali menatap sebuah foto yang tergantung tepat di sebelah foto keluarga Hana. Dirinya meyakini bahwa itu adalah foto kelulusan Hana sewaktu SMP.
Hana yang sadar dengan tingkah laku aneh cowok di depannya, mengikuti arah pandang Rio. "Kenapa?"
Tanpa repot-repot menoleh, Rio segera berkata, "Papa kamu pasti sayang banget sama kamu. Buktinya beliau datang sewaktu kelulusan."
Hana terkekeh pelan. Merasa kagum juga pada cowok di depannya, karena mengeluarkan kalimat yang tak pernah diduga oleh dirinya. "Cuma ayah yang bisa dateng," ucap Hana diikuti oleh senyuman sendu pada akhir kalimatnya.
Kali ini, Rio benar-benar menghadapkan kepalanya ke arah Hana. "Mama kamu kemana?" Rio tidak tahu mengapa ia bisa memiliki rasa penasaran sebesar ini. Mungkin karena melihat foto-foto keluarga Hana yang sangat terlihat akrab, bahkan sampai gadis ini remaja. Rio saja hanya punya satu foto bersama keluarga lengkapnya. Itu pula ketika dirinya berumur lima tahun.
"Waktu itu ibu udah meninggal." Hana menundukkan kepalanya. Ia tidak pernah bercerita masalah ini kepada siapapun.
Seketika napas Rio tercekat. Merasa bersalah setelah mendengar penjelasan Hana disertai ekspresi sedih yang terlihat jelas di wajahnya. "Maaf. Saya tidak bermaksud un—"
Hana menggeleng cepat dan tersenyum. "Gapapa. Lo kan nggak tau." Senyum Hana benar-benar tulus, membuat Rio ikut menarik kedua ujung bibirnya meski tidak terlalu terlihat. "Ayo kerjain tugasnya. Nanti keburu sore." Hana bergerak mengambil bahan-bahan mindmap dengan semangat.
Melihat itu, entah mengapa ia tidak mau membuat gadis di hadapannya itu merasa sedih.
Dia pantesnya dapet kebahagiaan, bukan kesedihan. Setidaknya, itu yang ada di pikiran Rio sekarang. Dan seharusnya, ia tidak memikirkan hal tersebut.
***
04 Juli 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...