"Mama."
Rio terdiam. Matanya menatap lurus ke mata Rian. Mencoba mencari kebohongan di sana. Namun nihil. Adiknya benar-benar serius. "You must be kidding me," ucap Rio masih tidak mau percaya begitu saja kepada Rian.
"Am I like kidding you?" tanya Rian dengan mata yang juga membalas tatapan Rio.
Tidak. Rio tahu Rian tidak bercanda. Hal tersebut yang malah membuat Rio gusar.
"Mama nggak telpon lo?" Rian bertanya dengan raut bingung.
"Enggak. Bisa lo ceritain lebih detail ke gue?"
Rian mengangguk. "Sekitar 2 atau 3 hari yang lalu, waktu gue di apartemen, ada telpon masuk. Awalnya gue nggak mau angkat karena nomor asing. Tapi waktu gue baca teliti lagi, nomor itu nomor luar. Gue nggak ngerasa ada kenalan dari luar, karena itu gue angkat. Gue cuma penasaran dia siapa dan dapat nomor gue dari siapa.
"Ketika gue angkat, beberapa detik belum ada suara." Mata Rian menatap kosong, mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu.
"Hello. Who are you? Why calling me?" Pertanyaan Rian tidak mendapat jawaban dari seberang sana. Rian menatap ponselnya dan melihat jika panggilan masih tersambung.
"Hey. Talk to me, please." Kesabarannya diuji. Yang benar saja, dia sudah mengangkat telepon tapi orang tersebut tidak berbicara.
"If you don't--" Ucapan Rian terputus ketika mendengar orang tersebut berbicara kepadanya.
"Hi Rian, how are you?" Suara orang tersebut membuat Rian terdiam. Ia masih ingat betul pemilik suara tersebut meskipun terakhir kali mereka berbincang adalah dua tahun lalu. Ketika orang tersebut memutuskan untuk pergi.
Rian merasa sesak di dadanya. Ia rindu sosok tersebut. "Ma--" Panggilan terputus tiba-tiba membuat ia menggeram.
Apakah benar jika tadi yang menelepon dirinya adalah Mamanya?
Matanya menatap mata biru milik Rio. "Gue nyuruh salah satu orang suruhan papa buat nyelidikin nomor itu."
"Punya Mama?" tanya Rio tidak sabaran.
Rian mengangguk. "Emily Alenta. Menurut lo, Emily Alenta mana lagi yang bakal berurusan sama keluarga Dirgantara?"
Rio terdiam. Mencerna cerita dan perkataan Rian. Mamanya kembali. Walaupun hanya beberapa menit, bahkan detik. Cowok tersebut kembali mengarahkan pandangannya ke Rian. "Lo udah coba telpon lagi?"
Kembarannya itu mengedikkan bahu. "Udah. Udah gue coba bahkan sampe hari ini. Mending kalo masih tersambung, nomor ini udah nggak bisa dihubungi lagi."
Rio menghela napas. Mengusap wajahnya. Jika seperti ini, bagaimana mereka menemukan jejak Mama mereka kembali?
"Gue udah berusaha. Gue minta suruhan papa buat ngelacak keberadaan mama. But, I get nothing. Mama kembali menghilang. Mengingat pengaruh keluarga mama di Amerika juga sangat besar." Rian kembali bersuara dan Rio diam-diam membenarkan.
"But, why did she call you, not me?" tanya Rio masih penasaran.
"Mungkin ya, mungkin nih. Maybe she misses me more than you." Rian tertawa di akhir kalimatnya yang malah membuat kembarannya mendengus.
"Whatever," cibir Rio.
"Idih ngambek, whatever-whateveran. Udah sana lo pulang aja. Kasian mukanya kusut begitu."
"Lo ngusir gue?"
"Iya."
Rio memutar bola matanya sebelum beranjak pergi dari club adiknya. Namun, ia kembali berhenti ketika adiknya berbicara, "I'm glad to be your real brother."
Tidak ada senyuman di wajah Rian, tapi Rio tahu, jika Rian juga sama senangnya dengan dirinya. Tanpa berkata apapun lagi setelah menatap adiknya, Rio melangkahkan kaki keluar dengan perasaan lebih tenang.
Rio menaiki motornya menuju apartemen yang kira-kira membutuhkan waktu dua puluh menit dari tempatnya sekarang. Ketika sampai di apartemennya, ia duduk di ruang tengah. Otaknya masih setia mengingat-ingat apa yang Rian katakan malam ini. Rio menghembuskan napas. Bertepatan setelah itu, ada telepon masuk ke ponselnya.
Papa is caling...
Rio mengangkat telepon tersebut dan langsung disambut suara papanya. Sepertinya pria dewasa itu sangatlah sibuk dan tidak ingin membuang-buang waktu.
"Halo Rio. Papa cuma mau bilang, besok tolong datang ke butik tante Risa. Kamu fitting tuxedo buat pernikahan Papa. Alamatnya nanti Papa kirim," jelas Indra tanpa memberi jeda sedikitpun bagi Rio untuk sekadar menyapanya.
"Ya. Rio udah ngomong ke Rian, dia bakal usahain dateng ke pernikahan Papa," jawab Rio seperlunya.
Terdengar helaan napas di ujung sana. "Terserah besok kamu mau ajak dia atau enggak. Papa nggak peduli." Setelah mengatakan hal tersebut, telepon ditutup secara sepihak.
Rio menyandarkan tubuhnya, mendongak, dan memejamkan matanya. Sejujurnya Rio sangat malas harus bertemu ayahnya bersama calon istri barunya. Bahkan, ia juga baru tahu jika Risa Wijaya adalah seorang designer dan memiliki butik.
Cowok itu buru-buru menegakkan tubuhnya kembali dan segera mengabari Rian perihal tentang agenda ayah mereka.
Tanpa menunggu lama, balasan pun Rio dapatkan. Lagi-lagi Rio harus menghela napas membaca balasan adiknya.
Andrian A. Dirgantara
Sorry, gw sebnrnya pgn ikut. Tp gw blm bs.
U know lah, gw blm siap buat ktm bokap.
Ukrn kita kn sm, pnjm bdn lo y:)Rio mengiyakan saja. Mungkin ia masih harus memakluminya. Tapi apa-apaan harus diberi emoticon senyum menjijikkan seperti itu? Dan lagi, isi pesan Rian hampir tidak memakai huruf vokal sama sekali.
Adrian A. Dirgantara
Lo jwb cm 'y' doang?
Pnjgin dikit kekBalasan tiba-tiba dari Rian membuat dirinya bertambah kesal. Aneh bagi Rio karena tidak pernah Rian mempermasalahkan hal ini.
Andrio A. Dirgantara
Apart lo gk ada kaca?
Srh ngaca tuh hp loRio tidak membaca balasan selanjutnya dari Rian. Ia memilih tidur dan menyiapkan energi untuk besok. Padahal rencananya hari Minggu tersebut akan ia gunakan untuk bermalas-malasan, namun malah hancur gara-gara fitting baju tidak jelas itu.
***
Yeay, update lagi..
Lagi semangat nihh.
Btw, kemaren pemeran Rio ultah lho..
Wkwk gak penting ya?Vote dan komentar boleh?
Salam,
Bellen26 Maret 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...