Suara pantulan bola memenuhi indra pendengaran Hana. Ia mendengus kesal karena harus tertahan di lapangan ini, sendirian dan membosankan, hanya untuk menemani Rio. Pagi tadi ketika istirahat, cowok tersebut memohon padanya, atau lebih tepatnya adalah memaksa, agar mau menunggu selama latihan basket.
"Han, lo nanti siang ada acara?"
Suara bariton mengusik dirinya ketika berbincang dengan kedua temannya.
"Enggak. Kenapa?"
Cowok tersebut berdeham. "Temenin gue latihan basket."
Sontak, dirinya melotot dengan pernyataan orang di depannya. "Kenapa harus gue?"
"Nanti gue anter lo pulang." Bukannya menjawab pertanyaan Hana, ia malah mengeluarkan pernyataan lain yang sukses membuat dirinya mengerutkan dahi.
"Lo ngerti nggak sih, gue ta-"
"Oke. See you di lapangan."
Belum sempat Hana menyelesaikan protesnya, cowok itu memotong ucapannya dan pergi begitu saja.
Ia mengepalkan tangannya dan mendesis, "Rio. Liat aja nanti."
Ia menyeruput minumannya dengan kesal dan menjadi semakin kesal ketika mendengar suara tawa kedua sahabatnya.
"Cie, yang udah mulai deket."
"Bentar lagi ada yang jadian nih."
Tanggapan tersebut membuat Hana menatap tajam dua orang di depannya yang malah dibalas tawa yang lebih kencang dari sebelumnya.
Dan ya, di sini dia sekarang. Hanya memainkan ponselnya, melihat mereka latihan, memainkan ponselnya kembali. Huft. Untung saja lapangan basket ini indoor, jadi dirinya tidak kepanasan.
Ia mengalihkan matanya dan pemandangan menyenangkan tertangkap oleh retinanya. Di sana, Rio sedang mendribble bola, memainkan sebuah taktik, mengarahkan bola ke arah ring, dan boom, bola masuk ke ring dengan sempurna. Cowok itu lalu ber-highfive ria dengan timnya, lalu mengelap keringat dengan ujung bajunya, dan tiba-tiba membalas tatapannya.
Hana buru-buru mengalihkan tatapannya dengan merutuki kebodohannya di dalam hati. Kenapa dia lepas kendali? Dan kenapa dia bisa berpikir bahwa barusan yang ia lihat adalah pemandangan menyenangkan?
"Hai."
Suara bariton yang sama saat istirahat tadi. Sekarang, pemilik suara itu malah duduk di sampingnya, membuat dirinya makin gelagapan.
"Gue nyapa, btw."
"Oh. Hai juga," jawab Hana dengan kikuk.
Cowok di sampingnya menyadarkan punggungnya dan meluruskan kakinya. "Kalau gue nggak salah, lo tadi ngeliatin gue waktu latihan, kan?"
Hana langsung menatap cowok itu, melebarkan matanya dan membuka mulutnya. "Eng.. Enggak.. kok.. Ngapain, ngapain juga gue ngeliatin lo. Kurang kerjaan banget," ujarnya berusaha membela diri dan mengakhiri dengan tawa yang sangat jelas adalah tawa palsu.
"Oh, ya?" Rio menaikkan alisnya. "Berarti gue salah."
Hana tertawa dan menepuk pundak cowok di sampingnya itu. "Ya iyalah."
"Tapi kok lo jawab kikuk tadi?"
Satu, dua, tiga.
Rio menatap tepat di matanya membuat dirinya tidak bisa berpikir.
Buru-buru ia mengalihkan wajahnya dan pura-pura merapikan bajunya yang tidak kusut sama sekali. Tanpa ia sadari, cowok di sampingnya baru saja mengumbar senyum tulus selama dua detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...