Hananta 11

126 10 0
                                    

Mereka sama-sama terdiam. Hana yang masih memperhatikan film kesukaannya dan Rio yang masih terus mengulang memori-memori di kepalanya.

"Ehm.." Rio menggumam tidak jelas. Membuat Hana menoleh dan mengerutkan keningnya.

"Kenapa?" tanya Hana ketika Rio terlihat gelisah.

Andai gadis itu tahu, dirinya ingin menceritakan tentang keluarganya namun sangatlah sulit.

"Gak," putus Rio akhirnya, memilih memendam ceritanya sendiri.

Hana berdeham. Memutar posisinya untuk menghadap ke arah Rio. "Yo, gue mau tanya. Tapi terserah lo mau jawab apa enggak."

Rio mempersilahkan Hana dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Mmm.." Hana memainkan jarinya karena bingung harus memulai darimana. "Gue liat berita beberapa hari lalu. Indra Dirgantara itu bener bokap lo? Dan dia akan menikah?" Hana mengakhiri pertanyaan dengan suara mengecil. Merasa tidak nyaman dengan pertanyaannya sendiri. Bagaimana dengan Rio?

Rio tersenyum. Ia mengangguk. Cukup untuk menjawab pertanyaan Hana. Lagipula, gadis itu sudah tidak mau bertanya, lebih tepatnya menahan keingintahuan dirinya.

"Kayaknya masih ada pertanyaan lagi?" Oke, Hana benar-benar tidak bisa menahannya. Rio saja sampai menyadari.

"Emang boleh gue tanya lagi?"

Rio mengedikkan bahunya. "Selama gue bisa jawab, why not?"

Hana mengangguk paham. "Kalo gue boleh tau, apa yang terjadi sama keluarga lo?"

"Singkatnya, nyokap sama bokap gue cerai karena bokap ketahuan selingkuh. Mereka berantem sejak gue kelas 1 SMP. Rian keluar dari rumah satu tahun kemudian. Gue berusaha bertahan sampai lulus, ternyata sama aja. Bahkan sebelum Ujian Nasional, nyokap memutuskan untuk balik ke negara asalnya. Gue ngerasa bener-bener hancur pada saat itu. Nyokap yang pamit beberapa jam sebelum berangkat. Bokap yang bahkan enggak peduli sama nyokap, gue, dan Rian.

"Tepat setelah pengumuman kelulusan, gue cari apartamen dan gue dapet apartemen ini. Gue mikir bokap berusaha nahan gue, ternyata juga salah. Dia udah nggak peduli lagi. Dia cuma kirim uang, tapi sama sekali nggak pernah nanyain kabar anaknya. Sampai detik ini."

Hana melihat sorot kesedihan di mata Rio. Untuk pertama kali, ia bisa merasakan sakit hanya dengan melihat mata cowok di depannya.

Satu notifikasi di ponsel Hana memecah keheningan yang terjadi beberapa menit lalu. Ia mengecek, ternyata dari Wira yang memintanya untuk pulang.

"Rio, gue pulang, ya. Udah ditanyain bokap gue." Hana berdiri dan buru-buru berjalan ke arah pintu tanpa mendengar jawaban cowok itu.

"Gue yang anter. Gue yang udah ngajak lo." Hana berhenti, menatap Rio yang berjalan mengambil jaketnya. Entahlah, ia seperti melihat Rio ketika pertama kali mengenalnya. Dingin.

****

Rio menatap Kota Jakarta yang sepertinya tidak pernah terlelap. Selepas mengantar Hana, ia langsung pulang dan di sinilah ia sekarang, di balkon kamarnya. Jam baru menunjukkan pukul 9.43 tapi ia sudah ingin merenung. Inilah yang selalu ia lakukan ketika banyak pikiran. Diam berdiri di balkon kamarnya, menyalahkan dirinya, jika butuh ia merokok, dan jika tidak dapat tidur, ia akan meminum obat tidur.

Namun, sepertinya malam ini akan sedikit berbeda. Ia hanya ingin diam. Tatapannya kosong. Dan pikirannya kembali ke masa lalu.

"Jadi, apa yang kamu lakukan? Aku harap kamu benar-benar jujur kali ini," suara wanita yang tetap tenang, walaupun sedang menahan diri untuk tidak menangis.

Pria di depannya terkekeh, tidak menunjukkan rasa bersalahnya. "Bukannya kamu juga sudah bisa menduga? Apalagi yang harus kujelaskan?"

Wanita itu menghela napas. Lelah dengan sikap Indra, suaminya, akhir-akhir ini. "Ya. Aku tahu. Kamu selingkuh." Emily berjalan meninggalkan Indra dan masuk ke kamarnya. Sedangkan Indra kembali keluar, entah pergi kemana.

Seorang anak berumur 13 tahun terduduk di balik pintu kamarnya. Ia mendengar semua perbincangan orang tuanya.

"Lo pengecut, Yo," gumam Rio kepada dirinya sendiri dengan tangan mulai mengepal.

"Rian! Apa yang kamu lakukan?" bentak Indra ketika sudah sampai di rumah. "Kamu tahu, apa yang kamu perbuat ini sudah membuat malu papa. Bertengkar di sekolah. Kamu pikir kamu jagoan? Iya?" Satu tamparan medarat di pipi kiri Rian dan meninggalkan bekas kemerahan di sana.

Emily ingin sekali menolong anaknya. Hatinya berteriak marah melihat putranya disakiti oleh ayahnya sendiri. Namun, selama ini jika ia berusaha membantu anak terakhirnya itu, Indra akan bertambah marah dan tak segan untuk memukul Rian.

"Kamu seharusnya bisa seperti Rio. Dia baik,-"

"Rio. Rio terus! Papa pikir anak papa cuma Rio? Apa sebenarnya bagi papa aku cuma anak pungut?" Sebuah pertanyaan yang tidak seharusnya keluar dari mulut anak kelas dua SMP.

Satu tamparan Rian dapat kembali. "Berani-beraninya kamu! Papa tidak pernah mengajarkan seperti itu padamu!"

Rian tertawa sinis dengan tangan yang memegangi pipinya. "Karena papa nggak pernah ngurusin Rian. Cuma Rio yang papa akui keberadaannya."

Rian masuk ke kamarnya dan tidak lama ia kembali keluar dengan koper di tangannya. "Rian pergi."

Emily berusaha mengejar anak bungsunya dengan air mata berurai di wajahnya. Namun tangan suaminya menahan dirinya. "Biarkan. Sudah untung aku tidak mencabut fasilitas dan tetap akan mengirimkan uang." Indra menarik istrinya. Lagi-lagi, Indra memasang wajah tak berdosanya.

Rio berada di ujung tangga. Ingin mengejar adiknya, tetapi tidak dapat ia lakukan.

"Lo nggak berguna, Yo. Lo yang buat keluarga lo hancur."

Untuk pertama kalinya, Rio mengingkari janjinya sendiri. Ia menangis, bertopang pada pembatas yang ada di balkon kamarnya. Ia tak sanggup lagi mengingat kepingan masa lalu lainnya. Cukup. Cukup sampai di sini saja dirinya merasa tak berguna.

***

I'm back!!
Are you waiting this story?
Enjoy...

Salam,
Bellen

21 Desember 2019

Hananta ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang