Hari berjalan begitu cepat, terutama bagi Rio. Tidak terasa tiga hari lagi adalah pernikahan ayahnya. Jujur, Rio sangat tidak siap untuk ini semua. Kehadiran seseorang di dalam keluarganya, untuk menggantikan posisi mamanya, sudah ia prediksi akan terjadi nantinya. Namun, ia sendiri tidak tahu akan seberat ini untuk menerima fakta tersebut.
"Jangan terlalu dipikirin."
Rio menoleh, Hana datang dengan membawa botol minum di tangannya dan senyum yang sangat cantik di mata Rio.
Hana menjulurkan botol yang ia bawa. "Gue bawain lo minum. Sebagai ganti waktu lo latihan basket itu." Hana terkekeh disusul duduk di sebelahnya.
Cowok itu menerima pemberian Hana dengan senang hati. Kini sedang istirahat dan dirinya memilih untuk menyendiri di lapangan indoor tempat yang biasa ia pakai untuk latihan.
"Kenapa lo di sini?" tanya Rio setelah meneguk minuman teh yang kebetulan adalah kesukaannya.
Hana mengangkat bahu. "Sengaja. Entah perasaan gue atau apa, gue liat hari ini lo lagi banyak ngelamun."
"Oh, udah mulai perhatian." Senyum menggoda muncul di bibir tipis cowok itu, sukses membuat Hana memutar bola matanya. "Lo kok tau gue di sini? Terus lo tau minuman kesukaan gue?"
Hana menghembuskan napas, sifat narsis cowok di depannya muncul kembali. "Gue nggak sengaja beli minum itu. Gue tau lo di sini, karena gue dikasih tau Jeje. Paham?"
Rio mengernyit lalu mengangguk kecil. Jeje, salah satu teman tim basketnya, memang sering berjumpa dengannya di lapangan ini ketika salah satu dari mereka sedang menghabiskan waktu untuk bermain basket. Jeje juga salah satu teman dekatnya, walaupun tidak terlalu dekat, karena kelas mereka yang juga bersebelahan.
"Terus, kenapa lo mau bela-belain ke sini?"
Semenjak kejadian halte, Rio menjadi lebih cerewet dan banyak tanya di mata Hana. Membuat dirinya harus memberi stok kesabaran lebih untuk menjawab satu persatu pertanyaan Rio.
"Gue nggak mau kalau lo itu mendem sendiri apa yang lo rasa. Gue nggak suka kalau seseorang tiba-tiba ngelamun, nggak fokus, apalagi menyendiri. Terutama temen-temen gue."
"Oh, jadi gue cuma temen bagi lo?" tanya Rio dengan melipat tangannya di depan dada.
Hana memejamkan mata kesal dan menipiskan bibirnya. "That's not the important part right now."
"That is." Rio menaikkan satu alisnya dan membenarkan posisi duduknya.
Hana berdecak. "Terserah lo mau ngomong apa. Gue capek." Ia beranjak, bermaksud untuk pergi. Ia lama-lama juga kesal jika niat baiknya dipermainkan.
Cekalan di tangannya menghentikan langkahnya. Tangan itu memaksa dirinya untuk kembali duduk. Tapi, dirinya belum berniat menoleh kepada pemilik tangan. Ia tidak akan menipu dirinya jika ia sangatlah sensitif. Jika ada yang mendebat pernyataannya, ia akan mudah untuk sakit hati dan bisa saja matanya memerah karena menahan tangis. Katakanlah dia sedikit berlebihan, namun itulah kenyataannya.
"Sorry," suara tersebut memecah keheningan mereka setelah beberapa saat.
Hana hanya bergumam. Ia menunduk dan memainkan jari dia atas rok seragamnya.
"Makasih. Lo udah peduli sama gue." Rio kembali membuka suaranya ketika tidak ada tanda jika cewek di sampingnya akan berbicara. "Jujur aja sih, gue nggak biasa buat ngungkapin apa yang gue rasain. Gue bukan orang yang mudah untuk berbagi masalah gue." Terdengar suara helaan napas lelah yang membuat Hana mengangkat kepalanya, menatap Rio dari samping.
"Bertahun-tahun lo nahan perasaan lo. Gue nggak yakin semua orang bakal sekuat itu. Lo pasti punya pelampiasan lo sendiri."
Rio menatap lapangan dan jejeran kursi di depannya dengan tatapan kosongnya. "Ya." Ia mengusap wajahnya. "Setiap gue merasa kalut, gue ngerokok. Gue minum. Dan setiap gue nggak bisa tidur, gue minun obat tidur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...