Jangan lupa vote🌟
***
"Lo kenapa lagi sih? Obat udah diminum belum? Atau lo stres? Mikir apa sih? Mikir negara aja kagak," omel Rian ketika kembarannya sudah sadar. Ia ingat, baru saja ia memarkirkan mobil, tiba-tiba Hana menghubunginya dan mengatakan jika Rio pingsan. Tentu saja ia berlari dari parkiran sampai UKS, tidak lupa dengan sumpah serapah untuk kembarannya itu.
"Alay banget, sih," jawab Rio sekenanya. Kepalanya masih sedikit pening ditambah omelan Rian membuat keadaannya semakin buruk saja.
Rian menoyor kepala Rio dan tentu saja membuat cowok itu mendelik sebal. "Gue baru dateng, dapet telpon lo pingsan, mimisan pula. Lo dengan santainya ngataun gue alay. Sumpah, kalau gue bisa minta, mending lo nggak perlu sadar sekalian tadi."
"Oh lo mau?"
"Ya, ya enggak, sih." Rian menggaruk pelipisnya. "Ya tapi lo ngeselin banget. Lo tau sendiri penyakit lo itu nggak main-main. Lo sendiri yang ngerasain sakit, tapi orang di sekitar lo yang harus ribet. Ngerti nggak, sih?" Rio terdiam. Tentu saja dia menyadari hal itu. "Kalau gini caranya, mending lo kemoterapi aja deh."
Seketika Rio menatap kembarannya dengan tatapan memelas. "Gue udah bilang gue nggak mau. Itu cuma memperlambat kematian gue aja. Gue nggak bisa sembuh, Yan."
Rian membalas tatapan itu dengan perasaan dongkol yang tak sanggup ia tutupi. "Lo belum nyoba, Yo. Baru stadium 2 dan masih ada harapan. There are a lot of people who would help you. Ada gue, mama, papa, keluarga kita, Hana." Suara Rian memelan di akhir kalimatnya, menyadari sesuatu. "Kalau Hana, nggak tau deh."
Rio berdecak kecil. "Sedangkan yang tau penyakit gue itu cuma lo sama mom. Kalau gue mati juga bakal berkurang satu orang yang nyusahin lo, bokap, nyokap. Bunga nggak bakal jadi ipar lo. Hana juga nggak bakal kena sial mulu gara-gara gue."
Kali ini, Rian menatap kakaknya datar. "Seenggak mau itu ya, lo hidup? Atau setidaknya lo punya keinginan buat sembuh. Tapi sekarang apa? Andrio Dirgantara udah jadi cowok cengeng? Andrio Dirgantara udah merasa hidupnya udah paling susah di dunia ini? Daripada lo nunggu malaikat maut jemput lo, mending lo aja yang jemput malaikat maut. Bunuh diri sana, sekarang, di hadapan gue."
Rio terdiam. Rian pun juga. Atmosfer di antara mereka sedang tidak baik-baik saja. Rio yang terlalu pasrah dengan penyakitnya, juga Rian yang sudah pasrah dengan kemauan kakaknya itu. Semua yang lihat pun tahu bahwa mereka sekarang sedang bersitegang.
Tak lama, terdengar suara pintu diketuk, membuat pandangan keduanya teralihkan ke arah pintu. Di sana, terlihat Hana membawa sebuah nampan berisi soto dan juga teh hangat.
"Dimakan ya. Semoga keadaan lo membaik. Jangan terlalu kelelahan. Gue permisi. Yan, gue duluan."
Setelah melihat anggukan Rian, Hana beranjak dari UKS itu. Jangan tanyakan respon Rio, melihat dirinya pun tidak. Hana menutup pintu di belakangnya. Mengambil napas karena rasa sesak sedaritadi menderanya. Air mata yang ia tahan sudah tak kuasa bersembunyi di tempatnya, luruh melalui kedua pipinya. Hana mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan oleh saudara kembar itu. Dari awal, hingga akhir.
***
"Rian!" Cowok bertubuh jangkung berhenti ketika membuka pintu saat ada yang memanggilnya. "Gue mau ikut lo." Dahinya mengerut kebingungan ketika tanpa basa-basi Hana masuk ke bangku penumpang dan mau tak mau ia juga ikut masuk ke mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hananta ✔
Teen FictionHananta Laksita Bahari. Siswi International High School, berumur 17 tahun, memiliki cerita dalam menjalani kehidupan remajanya. Rasa senang dapat memiliki teman-teman yang peduli tidak menjamin semuanya. Ada saja yang membenci dirinya. Belum lagi ma...