20. Gantungan Kunci

80 6 0
                                    



Irena berusaha menenangkan Ambar yang masih saja menangis.

Akhir-akhir ini Ambar sangat sensitif, gadis itu jadi mudah menangis jika menyinggung masalah Bondan dan gebetan barunya yang sudah pindah ke sekolah mereka.

"Ambar, udah dong! Gak capek nangis mulu? Air mata lo bisa kering nanti," kata Irena mengusap punggung Ambar yang terguncang karena menangis.

"Biarin aja, Na."

Irena menggelengkan kepala dengan sorot mata panik.

Ia tak sangka Ambar sebegitu terlukanya karena Bondan yang sudah mengambil alih perasaannya.

Untung kali ini sudah pulang sekolah, dan mereka sedang duduk di taman yang tak jauh dari rumah Ambar.

Bayangkan saja jika ada siswa dan siswi yang melihat keadaan Ambar sudah berlinang air mata dan ditambah dengan penampilan berantakannya, sudah pasti gosip tidak-tidak akan merebak ke segala penjuru sekolah.

Dibalik tangisan Ambar itu, Irena tahu akan banyak hal.

Irena paham betul, seperti apa rasa sakit yang membuat dada Ambar sesak. Ini kali pertama Ambar jatuh cinta, dan Ambar belum siap untuk patah hati.

Selain itu, Irena jadi tahu bahwa kebenaran tentang kata kebetulan yang merupakan takdir yang menyamar itu benar adanya.

Perempuan yang sedang menjadi rival Ambar untuk mengambil hati Bondan adalah teman dari pemuda yang sering Irena pikirkan.

Ya, jujur sejak Irena tahu bahwa wajah pemuda itu familiar baginya, Irena makin gencar memikirkannya.

Jangan salah paham!

Irena memikirkannya bukan berarti Irena menyukainya. Hanya saja, rasa penasaran Irena tak bisa ditawar-tawar lagi.

Inilah salah satu sifatnya yang sudah melekat sedari kecil.

Tak lama berselang, Ambar bangkit sembari mengusap sisa air matanya.

"Udah puas nangisnya?", tanya Irena dengan senyum meledek.

Ambar mengangguk. "Beneran deh, Na. Gue harus move on dari si Bondan."

Sebelah alis Irena naik. "Yakin?"

Kepala Ambar mengangguk lagi. "Setelah gue pikir-pikir, mendingan gue sama Bondan temenan kayak gini aja. Kalo emang udah tepat, suatu saat nanti juga ada cowok yang bakalan nerima gue, kok."

Senyum tipis Irena terbentuk. Ia lalu mengacak pelan rambut Ambar. "Nah, gue lebih suka semangat lo yang kayak gini!"

Kedua gadis itu tertawa bersama-sama.

Dibandingkan dengan pemilik wajah familiar itu, sekarang Irena jadi bertanya-tanya.

Apakah ia punya semangat sebesar Ambar untuk melupakan dia yang memang sudah siap Irena lupakan?

*****

Rizky memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. Ia berniat ke koperasi sekolah, hendak membeli beberapa peralatan belajar.

Banyak siswi yang menyapanya, tapi Rizky hanya membalas seadanya.

Sapaan para siswi itu bagai sesuatu yang begitu memuakkan bagi Rizky.

Kedua kaki Rizky sudah menginjak area koperasi sekolah. Ia lalu memberitahu yang berjaga untuk membantu mengambil peralatan belajar yang Rizky inginkan.

Sembari menunggu, Rizky mengedarkan pandangannya ke sekitar area koperasi sekolah.

Tak begitu ramai.

Rizky & IrenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang